Karl Theodor
Jaspers (1883-1969) adalah seorang Jerman yang dikenal sebagai salah satu tokoh
eksistensialisme yang berpengaruh. Menurut saya, salah satu pemikirannya
mengenai Existenz, merupakan sebuah versi rasional dari pemikiran tentang
relasi Martin Buber. Disini, saya akan menjelaskan apa itu Existenz,
Encompassing, Reason, dan Communication dalam terminologi Jasperian.
Dalam
Existenzphilosophie, ia memulai penjelasannya dengan pertanyaan mendasar dari
Immanuel Kant mengenai 1.Apa yang bisa aku ketahui ? 2. Apa yang sebaiknya aku
lakukan ? 3. Apa yang bisa aku harapkan ? 4. Apakah manusia itu ?. Jaspers
mengatakan bahwa dalam masa kini, pertanyaan fundamental tersebut telah lahir kembali
dengan bentuk yang telah berubah.[1] Pertanyaan
tersebut menjadi 1. Apa itu Science ? 2. Bagaimana communication menjadi
mungkin ? 3. Apa itu kebenaran ? 4. Apa itu Manusia ? dan 5. Apa itu yang
Transenden ?
Dalam
penjelasannya, muncullah term communication, yang ia artikan sebagai sebuah
desakan manusia untuk bisa lepas dari loneliness Communication timbul karena 2
dorongan, yaitu kehausan akan pengetahuan, dan hanya sekedar rasa ingin untuk berkomunikasi
dengan orang lain. Ia katakan bahwa pengetahuan atau science hanya akan berarti
lewat batas-batas yang menyatukan manusia.[2]
Lebih jauh lagi ia nyatakan keheranan akan manusia yang kini menjadi rigid
terhadap sebuah rasionalisasi, lewat diskusi atau perdebatan. Padahal menurut
Jaspers, communication dapat terjalin lewat pembukaan diri terhadap satu sama
lain,yang bertujuan untuk penyibakan total. Communication tidak terjadi,
menurut Jaspers, ketika ia amati orang-orang menyepakati sesuatu, namun
berdasarkan pertemanan. Ia katakan selanjutnya bahwa tanpa communication itu,
self-being tidak akan bisa menjadi real, dan bahwa Ia bisa bebas hanya jika
orang lain juga bebas, lewat penyibakan dan pembukaan diri masing-masing. Jika
ia tetap terisolasi tanpa melakukan communication, maka ia hanya akan tetap
menjadi potentiality, atau hilang menjadi ketiadaan.[3]
Dari penjelasan
communication, timbullah term Existenz, sebagai koneskuensi dari sebuah
hubungan antara Existenz dengan Transcendent. Existenz ia artikan sebagai
subyek, yaitu diri kita sendiri. Existenz memiliki potentiality, yang mana
harus ia realisasikan lewat kegiatan communication. Dalam penjelasan Existenz,
ia jelaskan bahwa Existenz tidak akan mungkin tanpa adanya Transcendent. Bahwa
Transcendent memberikan Existenz kesadarannya akan dirinya.
Keberadaan
Existenz, tidak terlepas dari adanya reason. Hubungan keduanya merupakan lebih
menyerupai polarisasi. Ia tidak terdapat di dalam satu sama lain, namun
menyokong satu sama lain. Polarisasi seperti ini ia gambarkan seperti Filsafat
dan Agama, yang mana salah satu dari mereka tidak bisa menjadi superior atas
yang lainnya, dan bahwa masing-masing dari mereka membutuhkan satu sama lain.[4]
Existenz berperan bagi Reason sebagai sarana untuk beralih dari suatu potensi
menjadi aktualisasi. Reason berperan sebagai alat bagi Existenz untuk mencoba
mencapai tahap Encompassing, untuk memahami dunia ini, sekaligus di dalamnya,
yang Transcendent.
Sementara
Encompassing sendiri, merupakan sebuah bentuk kesadaran kita akan being, yang
mendasari semua pengetahuan umum dan ilmiah kita, yang memberi makna bagi mitos
dan ritual agama. Encompassing tidak dapat dijadikan objek. Kesadaran akan
Encompassing hanya bisa dicapai lewat refleksi atas situasi kita. Ketika kita
merefleksikan, maka kita akan melihat semua objek yang kita sadari, termasuk
yang bersifat religius, merupakan sebuah determinate being di dalam sebuah
horizon. Maka kita ini sebenarnya berada dalam horizon. Sangat luas, ia
katakan, sehingga Encompassing bukan merujuk pada benda partikular, namun
mengekspresikan semua pengetahuan dan pemikiran kita.[5]
No comments:
Post a Comment