Monday, April 7, 2014

Di Balik Isu Caleg Perempuan

Caleg Perempuan. Begitu mendengar frase tersebut, orang biasa akan menganggap bahwa frase tersebut adalah frase dari gerakan emansipatoris. Gerakan yang mencoba untuk mengunggah isu yang belum biasa didengar oleh masyarakat. Isu ini mulai muncul lumayan massive - khususnya di Indonesia - sejak sekitar awal tahun 2000. Mulai ada 'gerakan pemberontakan' dengan lebih aktifnya perempuan di dalam bidang politik. Puncaknya, mungkin adalah ketika ibu Megawati menduduki RI 1, posisi yang selama ini diisi oleh laki-laki. Meskipun, pemerintahan Megawati seringkali dicap patriarkal, namun paling tidak, hal ini sudah memberikan stimulasi positif pada para perempuan untuk mencoba bidang politik.

Namun hal ini tidak bisa berhenti sampai di situ saja. Faktanya, perempuan di dalam sosial masih tergolong 'dihambat' dalam bidang politik dan demokrasi. Hal ini tentu saja karena sejauh ini, masyarakat hanya terbiasa dengan kultur patriarkis yang menganggap bahwa pemimpin adalah laki-laki. Kultur ini sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun hampir seluruh negara di dunia mengalaminya. Salah satu hal yang mempengaruhi tentu saja adalah agama, di mana posisi laki-laki adalah sebagai pemimpin. Pengaruh ini kemudian menimbulkan efek ke dalam tataran sosial. Kultur masyarakat adat di berbagai belahan Indonesia pun seringkali dihiasi warna patriarkal di dalamnya. Hal ini mengakar kuat dalam sosial kita, yang sekarang hendak direkonstruksi di dalam era modern ini.

Perempuan dalam bidang politik, khususnya dalam perebutan kursi dewan, masih terasa kurang imbang jika dibandingkan dengan proporsi laki-laki di dalamnya. Di Indonesia sendiri memang sudah terdapat peraturan minimal mengenai kuota perempuan dalam kursi wakil rakyat, yakni sekitar 25%. Para penggerak perempuan melihat hal ini sebagai sebuah kuota yang perlu diisi dan bahkan ditingkatkan. Porsi 25% sampai 30% masih dirasa kurang untuk bisa merepresentasikan suara perempuan di seluruh Indonesia. Selain itu, ketika sebuah peraturan mengatakan 'kuota minimal', masyarakat patriarkal cenderung sekedar mengisi porsi 'minimal' tersebut, tidak berusaha sama sekali untuk berpikir ulang untuk menambahnya. Pengisian kuota tersebut seakan hanya untuk 'menggugurkan kewajiban' yang terdapat dalam sebuah peraturan.

Isu feminisme sendiri akhirnya muncul sebagai upaya untuk bisa menambah porsi perempuan dalam komponen anggota legislatif. Berbagai pandangan feminisme digerakkan dan disosialisasikan pada masyarakat, terutama perempuan sendiri, supaya mereka sadar akan hak-hak mereka yang selama ini dijajah oleh budaya patriarki. Mereka disadarkan tentang bagaimana dunia politik sebenarnya bisa juga diisi oleh warna-warna perempuan, warna-warna feminis, dan tidak melulu bias gender. Pemahaman feminisme adalah sebuah senjata bagi para perempuan aktivis dalam mengupayakan hal yang disebut kesetaraan.

Kaum laki-laki, yang selama ini cenderung lebih dimanjakan oleh budaya patriarki pun mampu menggunakan perspektif feminisme ini sebagai senjata. Mereka mampu mengubah senjata para perempuan ini menjadi sebuah bumerang. Ketika perempuan menuntut kesetaraan, maka laki-laki dengan serta-merta melepaskan perempuan dan menantangnya secara fair di lapangan. Mereka akan beranggapan "Kalau mau setara, mari kita berlomba secara fair, enyahkan peraturan kuota minimal bagi perempuan, siapa pun yang berkualitas, baik itu laki-laki maupun perempuan, bisa mengisi kursi legislatif secara sportif."

Terdengar adil dan setara. Prinsip yang ideal dan kelihatannya benar, tidak ada masalah di dalamnya. Dan kelihatannya pula, hal inilah yang harus kita lakukan. Namun faktanya tidak sedemikian rupa.

Meskipun kesetaraan adalah hal yang diimpikan, bahkan di dunia politik, namun kita tak bisa melupakan aspek kesejarahan. Kita perlu mengaitkan konteks pada setiap gagasan yang hendak dijalankan, apalagi yang bersifat regulatif. Konteks yang ada saat ini adalah, intelektualitas perempuan Indonesia masih tergolong rendah. Memang benar sudah ada banyak perempuan intelektual yang mampu bersaing dengan laki-laki, namun secara keseluruhan, perempuan masih terhambat secara epistemologis untuk bisa mengetahui dan sadar tentang hak-hak mereka. Selain itu, kapabilitas mereka sebagai manusia intelektual dihambat oleh budaya patriarki selama ini. Perempuan saat ini adalah perempuan yang sudah terbiasa didoktrin dan dibiasakan untuk 'menikah setelah lulus SMA' dan 'tinggal di rumah mengurus anak dan rumah tangga setelah menikah'.

Episteme mereka telah diisi oleh hal-hal yang menghambat. Hal ini adalah hasil dari budaya patriarki yang begitu kuat. Bahkan budaya ini membuat perempuan nyaman dengan kondisi yang mereka dapatkan. Tidak perlu bekerja namun mendapatkan nafkah, berbelanja menggunakan uang jatah per bulan, dan lain sebagainya. Hal ini perlu dienyahkan dari pemikiran perempuan Indonesia pada umumnya. Apatis terhadap hal ini berarti menahan perempuan untuk menjadi manusia seutuhnya.

Berkaitan dengan perebutan kursi legislatif, yang harus dilakukan bukanlah seperti apa yang dikatakan secara serta merta oleh kaum patriarkis. Yang perlu dilakukan sekarang adalah membuka peluang lebih banyak kepada perempuan untuk bisa mengisi kursi legislatif. Peraturan kuota minimal harus dinaikkan dan benar-benar diisi oleh perempuan. Permasalahan intelektual adalah permasalahan yang bisa diatasi kemudian hari setelah perempuan masuk ke dalam komponen legislatif. Singkatnya, 'biarkan mereka masuk terlebih dahulu, mereka akan berkembang dengan sendirinya'. Jika sedari awal mereka tidak diijinkan masuk, atau dipersulit untuk masuk, maka selamanya perempuan tidak akan dapat merasakan apa itu kesetaraan.

Written by :
Kumara Ranudihardjo
07042014-21:06