Manusia mahluk yang ambisius. Paling tidak, ada beberapa orang yang tidak segan-segan mengatakan pada dunia bahwa ia memang ambisius. Ambisius ada baiknya. Ketika seseorang tak memiliki ambisi dalam hidup ini, maka hidupnya akan hampa. Pun begitu dengan gue. Gue nggak mendeklarasikan diri sebagai orang yang ambisius. Tapi gue nggak memungkiri bahwa gue punya ambisi di dunia ini.
Sebut saja ambisi untuk punya duit banyak. Banyak orang yang menginginkan duit. Ada pula yang nggak suka dengan duit. Namun gue memandang duit sebagai sarana untuk mencapai apa yang gue bener-bener inginkan. Ibarat udang goreng tepung, duit adalah tepungnya, sementara yang dibungkusnya adalah cita-cita gue sebenernya, keliling dunia.
Pemirsa mungkin udah bosen denger cita-cita gue. Bisa lah dilacak di postingan sebelumnya, ada banyak sekali curhatan tentang karir, masa depan, cita-cita, dan hal-hal yang seringkali dipikirkan mahasiswa labil kayak gue. Tapi kali ini gue nggak pengen bahas itu semua.
Bulan ini bulan Mei. April akhir, gue udah mulai diuji oleh Tuhan. Di saat gue tengah asyik-asyiknya menjajal ini itu selagi masih mahasiswa, mulai dari applying program magang, ikut lomba ini itu, nyari-nyari beasiswa, sampai ngerjain tugas, gue disuruh untuk beristirahat sejenak oleh Tuhan.
Stereotype yang sering terjadi adalah, seseorang terlalu sibuk bekerja meniti karir, dan akhirnya ia jatuh sakit sehingga ia harus beristirahat. Namun gue sedikit berbeda. Yang sakit bukan gue. Ibu gue di kampung halaman tiba-tiba harus diopname karena penyakit batu empedu.
Nangis wajarlah ya. Gue sayang ibu gue, dan selama ini terpisah oleh jarak yang jauh banget. Dari Jakarta ke Tulungagung. Terakhir ketemu bulan Februari awal. Dan gue dibayang-bayangi oleh kasus temen gue yang ibunya barusan meninggal. Dan gue nggak mau tentunya kejadian yang sama menimpa gue.
Mari kita simak ke cerita si temen gue ini.
Namanya, sebut saja Alay. Karena dia adalah alay facebook.
Ia merupakan mahasiswa di Bogor asal Gresik. Ia mengambil program D3, dan targetnya agustus 2014 ini ia diwisuda. Akhir tahun 2013 kemarin, ia seharusnya pulang kampung ke Gresik karena memang sedang jeda beberapa minggu libur. Terakhir kali si Alay ini bertemu dengan ibunya adalah saat hari raya idul fitri tahun 2013, yang berarti, cukup lama. Namun sayangnya ia ketinggalan kereta menuju Gresik, yang alhasil tiketnya yang mahal itu hangus, menyebabkan kebatalannya menemui orangtuanya di Gresik. Okelah, ikhlas sudah dilakukan baik si Alay maupun keluarga di Gresik.
Namun bulan Maret pertengahan, gue ditelpon olehnya. Ia ngabarin kalau ia urgently fly to Gresik, ia bilang ibunya masuk rumah sakit. Beberapa jam kemudian ia nelpon gue lagi. Kali ini dia bilang bahwa ia bakal balik ke Bogor lebih lama, karena ibunya meninggal. Gue cuma bisa diam.
Dua minggu setelah kematian ibunya, adalah hari ulang tahunnya yang ke 21. Ia semakin alay di Facebook. Meronta-ronta dan mengais perhatian dengan kematian ibunya. Pathetic, tapi gue tahu rasanya pasti sakit sekali.
Gue kasihan. Tentu saja !
Setelah sekian lama pergi merantau ke ibukota, sekembalinya ia ke kampung halaman ia harus menemui ibunya namun dalam kondisi sudah dibungkus kain kafan. Padahal hanya tinggal beberapa bulan lagi, ia berencana membahagiakan ibunya dengan memperlihatkan toga sarjana yang ia kenakan bulan Agustus nanti. Namun kini semua tinggal kenangan.
Dan seminggu setelah ulang tahunnya, ia datang ke gue. Dan menyuruh gue untuk ikhlasin dan maafin dia atas segala kesalahan yang mungkin ia lakukan. Ia bilang, ia didiagnosa oleh dokter beberapa hari yang lalu mengidap kanker otak stadium 2. Gue saat itu cuma bisa diam.
Siapa yang nggak bakal kasihan ? Gue yang mengikuti perjalanan hidupnya beberapa bulan terakhir ini tentu tahu, apa saja yang ia alami. Dan gue, nggak kuasa nahan tangisan, esoknya, sendirian, di kamar gue, memikirkan dia.
Gue sendiri tak ingin kejadian itu terjadi pada ibu gue. Gue lulus tahun depan. Dan gue juga ingin keluarga lengkap gue bisa lihat gue diwisuda di Balairung UI. Mendengar kabar ibu gue sakit dan harus diopname nun jauh di sana, seminggu setelah gue dikabarin si Alay tentang kanker otaknya, gue nangis, lagi.
Saat itu gue sedang sibuk-sibuknya. Masa-masa UTS, presentasi, opportunity magang dan exchange, semuanya sedang hangat-hangatnya. Gue saat itu tengah berlari menuju impian gue, cita-cita gue. Namun gue harus menundanya. Berat rasanya untuk menunda perjalanan ini. Tapi, man, this is my mom ! Mana bisa gue jadi anak durhaka yang terus menerus berlari menjauh padahal keluarga gue, ibu gue memanggil gue dalam kesakitannya jauh di sana ?
Ini musibah. Dan gue pernah berpikir pula, kenapa harus terjadi ? Apakah ini teguran ? Apa salah gue ? Apakah ini karma karena gue pernah salah di masa lalu ? Lantas apa salah gue ? Di saat semuanya sedang terlihat cerah, mendung datang dan menyuruh gue untuk diam berteduh di bawah pohon. Di saat gue tengah bebas terbang menikmati indahnya dunia, ada suara dari bawah yang memanggil gue untuk turun ke bawah. Gue turun, dan beristirahat sejenak.
Gue langsung memesan tiket kereta untuk pulang keesokan harinya. Gue titipkan presensi kuliah pada temen gue. Dan untungnya, gue sedang nggak harus presentasi ataupun ujian. Beberapa hari itu. Gue pulang selama 3 hari. Menemui ibu gue yang terbaring lemah di kamar Arjuna 3.
Dan benar, air mata mengalir dari mata ibu gue ketika melihat gue pulang. Dan gue cuma bisa diam. Biasanya gue akan ikut menangis, namun mungkin karena kedewasaan sedikit datang pada gue, gue saat itu bisa menahannya.
Selama 3 hari gue bersama keluarga gue. Keadaan yang lama nggak gue rasain. Gue merasa hal ini benar. Gue merasa benar telah pulang ke Tulungagung. Jika tidak, gue bakal merasa menyesal seumur hidup. Gue nggak mau gue pulang tapi ibu gue udah nggak ada. Selagi ibu gue masih ada, gue bakal terus membahagiakannya, bahkan dengan hal kecil seperti mengabaikan kegiatan gue dan pulang sejenak. Dan gue bahagia.
Hal ini yang mungkin terkadang harus dialami oleh orang-orang yang mengejar mimpi. Mereka terlalu fokus pada impian mereka, cahaya di titik tujuan mereka, sampai-sampai melupakan apa yang mereka miliki di dunia ini. Keluarga adalah hal yang kita miliki, yang menurut gue sangat berharga, paling berharga. Gue nggak ingin apa yang gue miliki saat ini, ibu, ayah, dan kakak gue, hilang selagi gue meniti perjalanan hidup. Gue ingin mereka bisa melihat gue mencapai puncak itu, supaya mereka bahagia, supaya mereka bangga memiliki gue. Dan oleh karena itu, gue beristirahat sejenak. Untuk menengok ke belakang, melihat apa saja yang gue miliki, memastikan mereka masih ada dengan kondisi yang baik, sehingga gue bisa mencapai puncak bersama mereka.
Gue pikir, Tuhan ingin gue introspeksi. Dan gue berterimakasih pada segalanya, pada Tuhan, karena ia memberikan waktu buat gue untuk mengambil nafas kembali. Sehingga gue bisa mengisi kembali tenaga gue yang terkuras selama gue berlari, untuk melanjutkan berlari menuju cita-cita gue.
Dan sekarang, gue bersiap untuk kembali berlari.
Written by :
Kumara Ranudihardjo
At his boarding room
05052014-18:34
Sebut saja ambisi untuk punya duit banyak. Banyak orang yang menginginkan duit. Ada pula yang nggak suka dengan duit. Namun gue memandang duit sebagai sarana untuk mencapai apa yang gue bener-bener inginkan. Ibarat udang goreng tepung, duit adalah tepungnya, sementara yang dibungkusnya adalah cita-cita gue sebenernya, keliling dunia.
Pemirsa mungkin udah bosen denger cita-cita gue. Bisa lah dilacak di postingan sebelumnya, ada banyak sekali curhatan tentang karir, masa depan, cita-cita, dan hal-hal yang seringkali dipikirkan mahasiswa labil kayak gue. Tapi kali ini gue nggak pengen bahas itu semua.
Bulan ini bulan Mei. April akhir, gue udah mulai diuji oleh Tuhan. Di saat gue tengah asyik-asyiknya menjajal ini itu selagi masih mahasiswa, mulai dari applying program magang, ikut lomba ini itu, nyari-nyari beasiswa, sampai ngerjain tugas, gue disuruh untuk beristirahat sejenak oleh Tuhan.
Stereotype yang sering terjadi adalah, seseorang terlalu sibuk bekerja meniti karir, dan akhirnya ia jatuh sakit sehingga ia harus beristirahat. Namun gue sedikit berbeda. Yang sakit bukan gue. Ibu gue di kampung halaman tiba-tiba harus diopname karena penyakit batu empedu.
Nangis wajarlah ya. Gue sayang ibu gue, dan selama ini terpisah oleh jarak yang jauh banget. Dari Jakarta ke Tulungagung. Terakhir ketemu bulan Februari awal. Dan gue dibayang-bayangi oleh kasus temen gue yang ibunya barusan meninggal. Dan gue nggak mau tentunya kejadian yang sama menimpa gue.
Mari kita simak ke cerita si temen gue ini.
Namanya, sebut saja Alay. Karena dia adalah alay facebook.
Ia merupakan mahasiswa di Bogor asal Gresik. Ia mengambil program D3, dan targetnya agustus 2014 ini ia diwisuda. Akhir tahun 2013 kemarin, ia seharusnya pulang kampung ke Gresik karena memang sedang jeda beberapa minggu libur. Terakhir kali si Alay ini bertemu dengan ibunya adalah saat hari raya idul fitri tahun 2013, yang berarti, cukup lama. Namun sayangnya ia ketinggalan kereta menuju Gresik, yang alhasil tiketnya yang mahal itu hangus, menyebabkan kebatalannya menemui orangtuanya di Gresik. Okelah, ikhlas sudah dilakukan baik si Alay maupun keluarga di Gresik.
Namun bulan Maret pertengahan, gue ditelpon olehnya. Ia ngabarin kalau ia urgently fly to Gresik, ia bilang ibunya masuk rumah sakit. Beberapa jam kemudian ia nelpon gue lagi. Kali ini dia bilang bahwa ia bakal balik ke Bogor lebih lama, karena ibunya meninggal. Gue cuma bisa diam.
Dua minggu setelah kematian ibunya, adalah hari ulang tahunnya yang ke 21. Ia semakin alay di Facebook. Meronta-ronta dan mengais perhatian dengan kematian ibunya. Pathetic, tapi gue tahu rasanya pasti sakit sekali.
Gue kasihan. Tentu saja !
Setelah sekian lama pergi merantau ke ibukota, sekembalinya ia ke kampung halaman ia harus menemui ibunya namun dalam kondisi sudah dibungkus kain kafan. Padahal hanya tinggal beberapa bulan lagi, ia berencana membahagiakan ibunya dengan memperlihatkan toga sarjana yang ia kenakan bulan Agustus nanti. Namun kini semua tinggal kenangan.
Dan seminggu setelah ulang tahunnya, ia datang ke gue. Dan menyuruh gue untuk ikhlasin dan maafin dia atas segala kesalahan yang mungkin ia lakukan. Ia bilang, ia didiagnosa oleh dokter beberapa hari yang lalu mengidap kanker otak stadium 2. Gue saat itu cuma bisa diam.
Siapa yang nggak bakal kasihan ? Gue yang mengikuti perjalanan hidupnya beberapa bulan terakhir ini tentu tahu, apa saja yang ia alami. Dan gue, nggak kuasa nahan tangisan, esoknya, sendirian, di kamar gue, memikirkan dia.
Gue sendiri tak ingin kejadian itu terjadi pada ibu gue. Gue lulus tahun depan. Dan gue juga ingin keluarga lengkap gue bisa lihat gue diwisuda di Balairung UI. Mendengar kabar ibu gue sakit dan harus diopname nun jauh di sana, seminggu setelah gue dikabarin si Alay tentang kanker otaknya, gue nangis, lagi.
Saat itu gue sedang sibuk-sibuknya. Masa-masa UTS, presentasi, opportunity magang dan exchange, semuanya sedang hangat-hangatnya. Gue saat itu tengah berlari menuju impian gue, cita-cita gue. Namun gue harus menundanya. Berat rasanya untuk menunda perjalanan ini. Tapi, man, this is my mom ! Mana bisa gue jadi anak durhaka yang terus menerus berlari menjauh padahal keluarga gue, ibu gue memanggil gue dalam kesakitannya jauh di sana ?
Ini musibah. Dan gue pernah berpikir pula, kenapa harus terjadi ? Apakah ini teguran ? Apa salah gue ? Apakah ini karma karena gue pernah salah di masa lalu ? Lantas apa salah gue ? Di saat semuanya sedang terlihat cerah, mendung datang dan menyuruh gue untuk diam berteduh di bawah pohon. Di saat gue tengah bebas terbang menikmati indahnya dunia, ada suara dari bawah yang memanggil gue untuk turun ke bawah. Gue turun, dan beristirahat sejenak.
Gue langsung memesan tiket kereta untuk pulang keesokan harinya. Gue titipkan presensi kuliah pada temen gue. Dan untungnya, gue sedang nggak harus presentasi ataupun ujian. Beberapa hari itu. Gue pulang selama 3 hari. Menemui ibu gue yang terbaring lemah di kamar Arjuna 3.
Dan benar, air mata mengalir dari mata ibu gue ketika melihat gue pulang. Dan gue cuma bisa diam. Biasanya gue akan ikut menangis, namun mungkin karena kedewasaan sedikit datang pada gue, gue saat itu bisa menahannya.
Selama 3 hari gue bersama keluarga gue. Keadaan yang lama nggak gue rasain. Gue merasa hal ini benar. Gue merasa benar telah pulang ke Tulungagung. Jika tidak, gue bakal merasa menyesal seumur hidup. Gue nggak mau gue pulang tapi ibu gue udah nggak ada. Selagi ibu gue masih ada, gue bakal terus membahagiakannya, bahkan dengan hal kecil seperti mengabaikan kegiatan gue dan pulang sejenak. Dan gue bahagia.
Hal ini yang mungkin terkadang harus dialami oleh orang-orang yang mengejar mimpi. Mereka terlalu fokus pada impian mereka, cahaya di titik tujuan mereka, sampai-sampai melupakan apa yang mereka miliki di dunia ini. Keluarga adalah hal yang kita miliki, yang menurut gue sangat berharga, paling berharga. Gue nggak ingin apa yang gue miliki saat ini, ibu, ayah, dan kakak gue, hilang selagi gue meniti perjalanan hidup. Gue ingin mereka bisa melihat gue mencapai puncak itu, supaya mereka bahagia, supaya mereka bangga memiliki gue. Dan oleh karena itu, gue beristirahat sejenak. Untuk menengok ke belakang, melihat apa saja yang gue miliki, memastikan mereka masih ada dengan kondisi yang baik, sehingga gue bisa mencapai puncak bersama mereka.
Gue pikir, Tuhan ingin gue introspeksi. Dan gue berterimakasih pada segalanya, pada Tuhan, karena ia memberikan waktu buat gue untuk mengambil nafas kembali. Sehingga gue bisa mengisi kembali tenaga gue yang terkuras selama gue berlari, untuk melanjutkan berlari menuju cita-cita gue.
Dan sekarang, gue bersiap untuk kembali berlari.
Written by :
Kumara Ranudihardjo
At his boarding room
05052014-18:34
=')
ReplyDeleteknpa indri ? maksud emo nya apa nih ? hehehee
Delete