Ini adalah penyakit gue. Dan gue barusan menyadarinya,
beberapa minggu yang lalu saat gue masih menjalani masa liburan yang panjang di
Tulungagung. Tentang apa kata orang. Ya, gue selalu
berpikiran seperti itu.
Memikirkan dan mengkhawatirkan tentang apa yang akan orang katakan pada gue.
Ketika gue mau berbelanja sesuatu misalkan di supermarket.
Gue mau mengambil sebuah produk yang agak kecewek-cewekan. Gue selalu saja
celingukan sana sini mengkhawatirkan orang yang bakal ngelihat gue. Gue pikir
dalam hati, kalau orang lain sampai lihat gue ngambil produk ini, wah gue pasti
disangka banci kek, kemayu kek, dan sebagainya. Gue juga mulai ragu untuk
mengambilnya dan seringkali, gue membatalkan apa yang hendak gue lakukan. Hanya
karena memikirkan apa kata orang.
Ketika gue udah sampe rumah, gue mikir lagi. Padahal jaman
sekarang udah jaman emansipasi banget. Barang yang gue ingin beli juga bukan
barang yang ekstrem banget semacam kondom, yang kalau orang lain liat gue beli
itu, pasti akan ada jeda beberapa detik dari mereka untuk melongo ngeliatin
gue. Sah-sah saja sebenernya gue sebagai cowok membeli barang tersebut, tapi
entah kenapa gue selalu dibayang-bayangin oleh stigma masyarakat yang nantinya
bisa melekat ke gue.
Contoh lain, ketika di samping gue ada bule yang entah itu
duduk atau sekedar berdiri, gue selalu pura-pura nggak tahu dan pura-pura cuek
padahal dalam hati gue penasaran banget sama mereka, pengen ngelirik juga gitu.
Tapi ketika gue terjebak lagi dalam ketakutan akan apa yang akan dikatakan orang
pada gue, gue mengurungkan niat itu. Orang-orang sekitar sibuk melihat para
bule ini, dan jika gue ikut-ikutan ngeliat para bule sebagaimana orang-orang
pada umumnya ini, gue ngerasa gue ‘kampungan’ yang sama aja kayak mereka semua,
yang mainstream, yang ‘waw’ ngeliat bule.
Gue tahu gue bego banget pake jaim-jaim segala. Dan gue
nggak berhak untuk ngecap orang lain norak atau apalah. Gue tau kalau yang
bener-bener norak itu adalah gue karena nggak mau jujur sama diri gue sendiri. Gue
lebih norak lagi karena selalu mikirin apa kata orang tentang gue.
Sahabat gue, ngasih nasihat pada gue.
Kamu tuh selalu aja mikirin pendapat orang tentang kamu.
Kamu harus belajar cuek. Orang lain mau bilang apa ya so what ? Itu adalah hidup kamu dan orang lain nggak berhak mencampuri
hidup kamu.
That’s so true. But It’s hard for me to act like that.
Jaim, nggak jujur sama diri sendiri, selalu takut akan
pendapat orang, membuat gue selalu terperangkap dan nggak bahagia. Nggak
memberikan tempat duduk kepada perempuan di kereta misalkan, membuat gue
was-was akan pendapat orang lain di gerbong itu semacam “Ih ini cowok apaan sih
nggak gentle”. Lalu juga naik motor diboncengin sama cewek, membuat gue
khawatir tentang pendapat orang yang bakal bilang “Lo cewek apa cowok kok yang
nyetirin ceweknya sih”. Hingga diem di kelas tanpa ada pertanyaan ke dosen
padahal ada yang mengganjel pengen ditanyain karena takut anggapan orang “Ih
sok rajin lo/ ih pertanyaan apaan bego banget/ ini orang caper banget sih ke
dosen”.
Gue sendiri yang bakal nyesel karena selalu membatalkan apa
yang sebenernya gue pengenin. Gue pengen A, tapi karena takut akan cap dari
orang lain, gue membatalkan keinginan gue untuk melakukan A. It’s so
frustrating. I’m sick of it. Gue pengen berubah. Gue nggak pengen kea gini
lagi.
Menyadari hal itu, gue mulai mencoba untuk mendobrak segala
sesuatu. Gue sekarang udah mulai terbiasa diboncengin temen cewek gue ketika
naik motor tanpa merasa khawatir. Gue sekarang juga udah mulai tenang membeli
berbagai produk di supermarket. Dan gue udah bisa merasa cuek kalau di depan
gue duduk ada cewek berdiri.
Tapi belum cukup sampai di situ. Masih banyak hal yang gue
jaim-in, gue pikirin, gue khawatirin. Dan gue harus mulai belajar lagi dan
lagi. Gue harus yakinin pada diri gue sendiri “AKU HARUS BISA” seperti apa yang
dikatakan ibunya Fredy, hahahahha.
Dalam perjalanan menuju perubahan gue ini, gue akhirnya
menemukan quote-quote bagus untuk mensupport perbaikan dalam diri gue ini. Saat
kepoin Instagram seseorang, ada yang ngepost kurang lebih seperti ini :
4+3=7 tapi 5+2=7
juga.
Respect other people’s way of thinking.
Yeah it’s absolutely right ! Pasti ada alasan dan latar
belakang di balik semua tindakan dan pemikiran. Kita nggak bisa nyalahin orang
lain hanya karena penampakan luarnya yang berbeda dari kita. Memang ada banyak
jalan untuk mencapai Roma, dan semua jalan itu sah-sah saja ! Dengan begini,
komentar orang lain tidak lagi perlu dikhawatirkan.
Gue merasa tenang membaca postingan tersebut. Gue ucapkan
rasa terimakasih pada seseorang yang menguploadnya, entah siapa gue juga lupa.
Tapi momen uploadnya bener-bener pas dengan momen gue lagi galau tentang diri
gue yang selalu khawatir tentang pendapat orang.
Namun gue tetep berpendapat bahwa komentar orang lain itu
tetep perlu. Namun hanya sebatas kritik membangun, yang membuat kita bisa
menginstrospeksi diri kita sendiri, sehingga kita mengetahui kekurangan kita
dan mampu memperbaikinya. Yang perlu dibuang adalah rasa takut untuk dikritik
itu, rasa takut akan cemoohan orang, rasa takut yang memparalisis kita sehingga
kita tak bisa maju ke depan.
Ada lagi sebuah gambar yang sangat memotivasi gue :
Ya, benar sekali. Apapun yang kita lakukan, orang lain pasti
mencari celah untuk mencela kita, apapun yang kita lakukan. Dan karena memang
kita sebagai manusia nggak ada yang sempurna, maka celah itu memang sudah
merupakan faktisitas kita sebagai manusia. There’s no way to deny it. Karena
sudah tidak bisa diapa-apakan lagi, lantas mengapa kita khawatir ?
Gue hanya berharap supaya gue bisa lebih maju dalam segala
bidang tanpa perlu minder, takut, cemas, grogi, dan segala perasaan negatif
lainnya karena terlalu banyak memikirkan opini orang. Saat ini gue sedang
berjuang untuk melawannya, dengan berbekal nasihat dari ibunya Fredy “AKU HARUS
BISA”, gue berjuang untuk melampauinya. Semoga gue tetep bisa konsisten dengan
semangat gue ini. Hufft..
Yeahhhh ! Semangatt !!
AAAKUU HAARUUUSS BIISAAAA ! :D
Written by :
Kumara Ranudihardjo
At UI Central Library
Going home soon
02092014-14:38
No comments:
Post a Comment