Happy New Year 2015 !
Ingin rasanya mengatakan hal itu. Cuman awal tahun ini kita
bangsa Indonesia sedang berduka dengan adanya kasus kecelakaan pesawat AirAsia
QZ8501 yang jatuh akhir Desember 2014. L
iburan yang hendak direncanakan para
korban kini tinggal menjadi petaka. Sedih rasanya melihat berita-berita di
berbagai stasiun televisi yang berisi fakta-fakta yang sesungguhnya tidak kita
harapkan terjadi pada kita, maupun pada orang lain. Tapi kenyataan berkata
lain, manusia bisa berbuat apa ?
Kini, gue sebagai mahasiswa semester akhir yang diwajibkan
untuk menulis sebuah skripsi sebagai persyaratan lulus dan mendapa gelar
sarjana, tengah menikmati liburan. Entah bisa dikatakan liburan atau tidak.
Waktu berlibur tersedia selama 1 bulan lebih 2 minggu. Namun gue udah
berancang-ancang akan mengakhiri liburan secara prematur dengan segera kembali
ke perantauan 2 minggu sebelum kegiatan akademik resmi berlangsung. Sudah jelas
untuk mempersiapkan proposal skripsi yang harus sudah diserahkan kepada Prodi
untuk discreening. Rasa was-was, takut, cemas, stress, menyelimuti perasaan
gue, yang notabene sedang berlibur. Lantas, apakah hal ini layak disebut
berlibur ketika waktu senggang dan limpahan me-time
terus menerus dihantui perasaan-perasaan cemas seperti itu ? Gue rasa nggak.
Di samping itu, liburan akan terasa lebih bermakna apabila
didampingi oleh sahabat-sahabat bermain, yang menemani kita menggila di manapun
dan kapanpun. Dan lihatlah faktanya sekarang, temen-temen gue sibuk mengurus
skripsi masing-masing, sibuk mencari pekerjaan, sibuk kegiatannya
masing-masing, dan bahkan ada yang sedang terkapar sakit gara-gara terlalu
fokus dengan skripsi. What a pity.
Gue termenung dan bertanya-tanya, apa sih makna liburan itu
?
Kini gue di kamar sendirian, mencoba mengingat apa saja yang
telah gue lakuin selama 2 minggu di rumah ini. Nothing. Hanya di kamar, tidur, bangun, sarapan, mandi, menjemur
pakaian, pergi keluar kalau ada kerjaan, pulang, makan, mandi, bermain laptop,
tidur lagi. Di sela-sela kegiatan super monoton itu, terkadang gue nongkrong
bareng temen (baca: Ukhti Anita dan Yu Fredy) ke suatu tempat. Ya, hanya dua. Dan
itupun mereka nggak bisa setiap hari keluar bareng gue. Ada saat-saat di mana
gue harus rela melepas mereka untuk menikmati waktu pribadi mereka sendiri. Dan
here I am, nothing to do. Anita sibuk mencari pekerjaan, Fredy sibuk
mempersiapkan kompetisinya dan mengurus
adiknya.
Dan gue selalu menyalahkan diri gue sendiri karena waktu
luang yang melimpah ini selalu nggak gue manfaatin untuk sekedar membaca
artikel-artikel online sebagai bahan untuk menyusun skripsi. Dan gue hanya bisa
sebatas menyalahkan diri sendiri, tidak bertindak. Dan bahkan waktu produktif
yang tersedia nggak gue manfaatin untuk sekedar menulis artikel blog yang
memang sudah penuh dengan sarang laba-laba. Apa kabar buku yang hendak gue
terbitin untuk pertama kalinya ? Macet hingga chapter 4, padahal masih ada
belasan chapter lagi yang menunggu untuk dituangkan. Oh God, apakah sekuat ini
kekuatan malas yang sebetulnya ? Apakah gue harus menemukan kekuatan super yang
kekuatannya jauh melebihi dahsyatnya rasa malas ini ?
Sebetulnya bukan hanya rasa malas ini yang menjadi
penghalang produktifitas gue, sebagai manusia. Pepatah memang benar bahwa
lingkungan sangat mempengaruhi kondisi seseorang. Suasana kota kecil tempat
kelahiran gue ini sangatlah tidak produktif. Kedamaian hidup terlalu banyak di
sini, di mana gue mampu hidup dengan sangat nyaman di sini, segalanya
tercukupi, dan makanan enak yang murah bertebaran di mana-mana ! Cuaca dan
lingkungan yang tidak bising, jauh dari polusi, jauh dari keramaian, membuat
semangat menjadi ikut berayun dalam lantunan melodi kedamaian. Dan sekarang
bahasa gue udah mulai ngelantur dan alay, that’s
the proof.
Sudah gue duga, dulu sebelum pulang kampung, gue udah merasa
nggak enak. Gue takut ketika gue pulang nanti, gue nggak bakal produktif.
Suasana yang nggak kondusif, orang-orang yang nggak berpemikiran revolusioner,
mindset yang masih terikat pada adat dan budaya setempat, bener-bener jadi
penghalang bagi produktifitas gue. Ketika pulang ke sini, pasti orang-orang
yang gue temui dan gue kenal di sini akan membicarakan hal-hal yang sama, yakni
pageant. Ya, gue bergaul dan memiliki
history pertemanan erat dengan orang-orang duta wisata dan setiap kali gue
kembali pulang ke kampung halaman, merekalah yang selalu menyambut gue dengan
tangan terbuka. That’s my place to come
back to. Tapi now that I am about to graduate, pikiran gue nggak bisa lagi
sekanak-kanak itu untuk membicarakan hal-hal yang kurang relevan dengan masa
depan gue. Seperti misalkan menggosipkan peserta pageant tertentu, menggosipkan
ajang duta wisata tertentu, diskusi ingin mengikuti ajang apa lagi, dan
seterusnya. Gue nggak bisa lagi menikmati hahahihi yang jika dikalkulasi untung
ruginya secara material, nggak ada gunanya. Bisa dapat berapa juta rupiah gue
dengan menggosipkan orang yang nun jauh di sana ? Bisa makan berapa kali gue
sehabis bermimpi siang bolong ingin menjadi artis ? Nothing. Dan gue berada
dalam tahap di mana segala sesuatu harus gue lakuin secara real, nyata,
menjejak ke tanah, tidak abstrak, tidak omdo, secara fisik, empiris, dan apalah
lagi kalimat yang bisa menggambarkan hal itu. Nyata ! Gue udah cukup bermimpi,
sekarang sudah saatnya gue melakukan hal nyata untuk mewujudkan mimpi itu !
And the time is now. Liburan ? Sorry, it won’t be the same
anymore.
I need to settle my things.
Now.
Written by :
Kumara Ranudihardjo
At his home
Gonna sleep
14012015-23:23
No comments:
Post a Comment