Thursday, December 11, 2014
Saturday, November 1, 2014
Sunday, October 26, 2014
Wednesday, September 3, 2014
Friday, August 15, 2014
Sahabat Lama vs Sahabat Baru
"Kalau punya teman baru, teman lama jangan dilupakan."
~Anonymous
Pepatah kea gitu sudah ada di benak Kuma berumur 7 tahunan. Saat itu SD sudah menjejali pikiran anak-anak dengan kalimat-kalimat mutiara seperti itu.
Saturday, July 12, 2014
Sunday, June 22, 2014
Monday, June 2, 2014
Wednesday, May 7, 2014
Istirahat Sejenak
Manusia mahluk yang ambisius. Paling tidak, ada beberapa orang yang tidak segan-segan mengatakan pada dunia bahwa ia memang ambisius. Ambisius ada baiknya. Ketika seseorang tak memiliki ambisi dalam hidup ini, maka hidupnya akan hampa. Pun begitu dengan gue. Gue nggak mendeklarasikan diri sebagai orang yang ambisius. Tapi gue nggak memungkiri bahwa gue punya ambisi di dunia ini.
Monday, April 7, 2014
Di Balik Isu Caleg Perempuan
Caleg Perempuan. Begitu mendengar frase tersebut, orang biasa akan menganggap bahwa frase tersebut adalah frase dari gerakan emansipatoris. Gerakan yang mencoba untuk mengunggah isu yang belum biasa didengar oleh masyarakat. Isu ini mulai muncul lumayan massive - khususnya di Indonesia - sejak sekitar awal tahun 2000. Mulai ada 'gerakan pemberontakan' dengan lebih aktifnya perempuan di dalam bidang politik. Puncaknya, mungkin adalah ketika ibu Megawati menduduki RI 1, posisi yang selama ini diisi oleh laki-laki. Meskipun, pemerintahan Megawati seringkali dicap patriarkal, namun paling tidak, hal ini sudah memberikan stimulasi positif pada para perempuan untuk mencoba bidang politik.
Namun hal ini tidak bisa berhenti sampai di situ saja. Faktanya, perempuan di dalam sosial masih tergolong 'dihambat' dalam bidang politik dan demokrasi. Hal ini tentu saja karena sejauh ini, masyarakat hanya terbiasa dengan kultur patriarkis yang menganggap bahwa pemimpin adalah laki-laki. Kultur ini sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun hampir seluruh negara di dunia mengalaminya. Salah satu hal yang mempengaruhi tentu saja adalah agama, di mana posisi laki-laki adalah sebagai pemimpin. Pengaruh ini kemudian menimbulkan efek ke dalam tataran sosial. Kultur masyarakat adat di berbagai belahan Indonesia pun seringkali dihiasi warna patriarkal di dalamnya. Hal ini mengakar kuat dalam sosial kita, yang sekarang hendak direkonstruksi di dalam era modern ini.
Perempuan dalam bidang politik, khususnya dalam perebutan kursi dewan, masih terasa kurang imbang jika dibandingkan dengan proporsi laki-laki di dalamnya. Di Indonesia sendiri memang sudah terdapat peraturan minimal mengenai kuota perempuan dalam kursi wakil rakyat, yakni sekitar 25%. Para penggerak perempuan melihat hal ini sebagai sebuah kuota yang perlu diisi dan bahkan ditingkatkan. Porsi 25% sampai 30% masih dirasa kurang untuk bisa merepresentasikan suara perempuan di seluruh Indonesia. Selain itu, ketika sebuah peraturan mengatakan 'kuota minimal', masyarakat patriarkal cenderung sekedar mengisi porsi 'minimal' tersebut, tidak berusaha sama sekali untuk berpikir ulang untuk menambahnya. Pengisian kuota tersebut seakan hanya untuk 'menggugurkan kewajiban' yang terdapat dalam sebuah peraturan.
Isu feminisme sendiri akhirnya muncul sebagai upaya untuk bisa menambah porsi perempuan dalam komponen anggota legislatif. Berbagai pandangan feminisme digerakkan dan disosialisasikan pada masyarakat, terutama perempuan sendiri, supaya mereka sadar akan hak-hak mereka yang selama ini dijajah oleh budaya patriarki. Mereka disadarkan tentang bagaimana dunia politik sebenarnya bisa juga diisi oleh warna-warna perempuan, warna-warna feminis, dan tidak melulu bias gender. Pemahaman feminisme adalah sebuah senjata bagi para perempuan aktivis dalam mengupayakan hal yang disebut kesetaraan.
Kaum laki-laki, yang selama ini cenderung lebih dimanjakan oleh budaya patriarki pun mampu menggunakan perspektif feminisme ini sebagai senjata. Mereka mampu mengubah senjata para perempuan ini menjadi sebuah bumerang. Ketika perempuan menuntut kesetaraan, maka laki-laki dengan serta-merta melepaskan perempuan dan menantangnya secara fair di lapangan. Mereka akan beranggapan "Kalau mau setara, mari kita berlomba secara fair, enyahkan peraturan kuota minimal bagi perempuan, siapa pun yang berkualitas, baik itu laki-laki maupun perempuan, bisa mengisi kursi legislatif secara sportif."
Terdengar adil dan setara. Prinsip yang ideal dan kelihatannya benar, tidak ada masalah di dalamnya. Dan kelihatannya pula, hal inilah yang harus kita lakukan. Namun faktanya tidak sedemikian rupa.
Meskipun kesetaraan adalah hal yang diimpikan, bahkan di dunia politik, namun kita tak bisa melupakan aspek kesejarahan. Kita perlu mengaitkan konteks pada setiap gagasan yang hendak dijalankan, apalagi yang bersifat regulatif. Konteks yang ada saat ini adalah, intelektualitas perempuan Indonesia masih tergolong rendah. Memang benar sudah ada banyak perempuan intelektual yang mampu bersaing dengan laki-laki, namun secara keseluruhan, perempuan masih terhambat secara epistemologis untuk bisa mengetahui dan sadar tentang hak-hak mereka. Selain itu, kapabilitas mereka sebagai manusia intelektual dihambat oleh budaya patriarki selama ini. Perempuan saat ini adalah perempuan yang sudah terbiasa didoktrin dan dibiasakan untuk 'menikah setelah lulus SMA' dan 'tinggal di rumah mengurus anak dan rumah tangga setelah menikah'.
Episteme mereka telah diisi oleh hal-hal yang menghambat. Hal ini adalah hasil dari budaya patriarki yang begitu kuat. Bahkan budaya ini membuat perempuan nyaman dengan kondisi yang mereka dapatkan. Tidak perlu bekerja namun mendapatkan nafkah, berbelanja menggunakan uang jatah per bulan, dan lain sebagainya. Hal ini perlu dienyahkan dari pemikiran perempuan Indonesia pada umumnya. Apatis terhadap hal ini berarti menahan perempuan untuk menjadi manusia seutuhnya.
Berkaitan dengan perebutan kursi legislatif, yang harus dilakukan bukanlah seperti apa yang dikatakan secara serta merta oleh kaum patriarkis. Yang perlu dilakukan sekarang adalah membuka peluang lebih banyak kepada perempuan untuk bisa mengisi kursi legislatif. Peraturan kuota minimal harus dinaikkan dan benar-benar diisi oleh perempuan. Permasalahan intelektual adalah permasalahan yang bisa diatasi kemudian hari setelah perempuan masuk ke dalam komponen legislatif. Singkatnya, 'biarkan mereka masuk terlebih dahulu, mereka akan berkembang dengan sendirinya'. Jika sedari awal mereka tidak diijinkan masuk, atau dipersulit untuk masuk, maka selamanya perempuan tidak akan dapat merasakan apa itu kesetaraan.
Written by :
Kumara Ranudihardjo
07042014-21:06
Namun hal ini tidak bisa berhenti sampai di situ saja. Faktanya, perempuan di dalam sosial masih tergolong 'dihambat' dalam bidang politik dan demokrasi. Hal ini tentu saja karena sejauh ini, masyarakat hanya terbiasa dengan kultur patriarkis yang menganggap bahwa pemimpin adalah laki-laki. Kultur ini sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun hampir seluruh negara di dunia mengalaminya. Salah satu hal yang mempengaruhi tentu saja adalah agama, di mana posisi laki-laki adalah sebagai pemimpin. Pengaruh ini kemudian menimbulkan efek ke dalam tataran sosial. Kultur masyarakat adat di berbagai belahan Indonesia pun seringkali dihiasi warna patriarkal di dalamnya. Hal ini mengakar kuat dalam sosial kita, yang sekarang hendak direkonstruksi di dalam era modern ini.
Perempuan dalam bidang politik, khususnya dalam perebutan kursi dewan, masih terasa kurang imbang jika dibandingkan dengan proporsi laki-laki di dalamnya. Di Indonesia sendiri memang sudah terdapat peraturan minimal mengenai kuota perempuan dalam kursi wakil rakyat, yakni sekitar 25%. Para penggerak perempuan melihat hal ini sebagai sebuah kuota yang perlu diisi dan bahkan ditingkatkan. Porsi 25% sampai 30% masih dirasa kurang untuk bisa merepresentasikan suara perempuan di seluruh Indonesia. Selain itu, ketika sebuah peraturan mengatakan 'kuota minimal', masyarakat patriarkal cenderung sekedar mengisi porsi 'minimal' tersebut, tidak berusaha sama sekali untuk berpikir ulang untuk menambahnya. Pengisian kuota tersebut seakan hanya untuk 'menggugurkan kewajiban' yang terdapat dalam sebuah peraturan.
Isu feminisme sendiri akhirnya muncul sebagai upaya untuk bisa menambah porsi perempuan dalam komponen anggota legislatif. Berbagai pandangan feminisme digerakkan dan disosialisasikan pada masyarakat, terutama perempuan sendiri, supaya mereka sadar akan hak-hak mereka yang selama ini dijajah oleh budaya patriarki. Mereka disadarkan tentang bagaimana dunia politik sebenarnya bisa juga diisi oleh warna-warna perempuan, warna-warna feminis, dan tidak melulu bias gender. Pemahaman feminisme adalah sebuah senjata bagi para perempuan aktivis dalam mengupayakan hal yang disebut kesetaraan.
Kaum laki-laki, yang selama ini cenderung lebih dimanjakan oleh budaya patriarki pun mampu menggunakan perspektif feminisme ini sebagai senjata. Mereka mampu mengubah senjata para perempuan ini menjadi sebuah bumerang. Ketika perempuan menuntut kesetaraan, maka laki-laki dengan serta-merta melepaskan perempuan dan menantangnya secara fair di lapangan. Mereka akan beranggapan "Kalau mau setara, mari kita berlomba secara fair, enyahkan peraturan kuota minimal bagi perempuan, siapa pun yang berkualitas, baik itu laki-laki maupun perempuan, bisa mengisi kursi legislatif secara sportif."
Terdengar adil dan setara. Prinsip yang ideal dan kelihatannya benar, tidak ada masalah di dalamnya. Dan kelihatannya pula, hal inilah yang harus kita lakukan. Namun faktanya tidak sedemikian rupa.
Meskipun kesetaraan adalah hal yang diimpikan, bahkan di dunia politik, namun kita tak bisa melupakan aspek kesejarahan. Kita perlu mengaitkan konteks pada setiap gagasan yang hendak dijalankan, apalagi yang bersifat regulatif. Konteks yang ada saat ini adalah, intelektualitas perempuan Indonesia masih tergolong rendah. Memang benar sudah ada banyak perempuan intelektual yang mampu bersaing dengan laki-laki, namun secara keseluruhan, perempuan masih terhambat secara epistemologis untuk bisa mengetahui dan sadar tentang hak-hak mereka. Selain itu, kapabilitas mereka sebagai manusia intelektual dihambat oleh budaya patriarki selama ini. Perempuan saat ini adalah perempuan yang sudah terbiasa didoktrin dan dibiasakan untuk 'menikah setelah lulus SMA' dan 'tinggal di rumah mengurus anak dan rumah tangga setelah menikah'.
Episteme mereka telah diisi oleh hal-hal yang menghambat. Hal ini adalah hasil dari budaya patriarki yang begitu kuat. Bahkan budaya ini membuat perempuan nyaman dengan kondisi yang mereka dapatkan. Tidak perlu bekerja namun mendapatkan nafkah, berbelanja menggunakan uang jatah per bulan, dan lain sebagainya. Hal ini perlu dienyahkan dari pemikiran perempuan Indonesia pada umumnya. Apatis terhadap hal ini berarti menahan perempuan untuk menjadi manusia seutuhnya.
Berkaitan dengan perebutan kursi legislatif, yang harus dilakukan bukanlah seperti apa yang dikatakan secara serta merta oleh kaum patriarkis. Yang perlu dilakukan sekarang adalah membuka peluang lebih banyak kepada perempuan untuk bisa mengisi kursi legislatif. Peraturan kuota minimal harus dinaikkan dan benar-benar diisi oleh perempuan. Permasalahan intelektual adalah permasalahan yang bisa diatasi kemudian hari setelah perempuan masuk ke dalam komponen legislatif. Singkatnya, 'biarkan mereka masuk terlebih dahulu, mereka akan berkembang dengan sendirinya'. Jika sedari awal mereka tidak diijinkan masuk, atau dipersulit untuk masuk, maka selamanya perempuan tidak akan dapat merasakan apa itu kesetaraan.
Written by :
Kumara Ranudihardjo
07042014-21:06
Monday, March 24, 2014
Sebuah Curhatan Tentang Orang Sombong
Lately, I have a lot in my mind. Selain kegiatan yang memang sudah terjadwalkan,
ada juga kehidupan sosial yang mengganggu. Yah namanya juga mahluk sosial ya,
yang punya hati, yang punya perasaan. Siapapun yang punya perasaan pasti nggak
bakal terhindar lah ya dari bentrok. Bentrok yang gue alamin membuat gue
dilema.
Thursday, February 27, 2014
Tuesday, February 11, 2014
Tuesday, January 28, 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)