Baru beberapa jam yang lalu gue mengikuti kuliah umum dari Prof. Dr. Bambang Wibawarta S.S., M.A. Biar gampangnya kita panggil pak bambang aja lah ya. Beliau adalah dekan FIB UI, jadi intinya : dekan gue. Nah, kuliah umum ini direncanakan oleh Mata Kuliah Wajib Fakultas yaitu Kebudayaan Indonesia. Nah ada beberapa yang pengen gue share pada pemirsa WTP sekalian terkait dengan beberapa ide menarik yang dapat diambil di Studium Generale ini. Hihihi, lesgoo :D
Jadi, dalam pidatonya, pak Bambang mengutarakan banyak sekali konsep dalam mengelola Kebudayaan Indonesia, termasuk strategi kebudayaan. Dimulai dari definisi Kebudayaan, 4 pilar penting dalam kebudayaan, pentingnya strategi kebudayaan, dan strategi kebudayaan itu sendiri. Yang bisa ditangkap disini adalah bahwa untuk dapat menjadi superior, sebuah kebudayaan haruslah bisa berguna, bermanfaat bagi masyarakat luas dan bagi pembangunan.
Yang pengen Author bahas disini adalah topik kesukaan Author nih, tentang Korea Selatan. Hihihi, jadi ada di salah satu contoh yang disampaikan pak Bambang, bahwa kebudayaan Korea Selatan tidak hanya dikemas dalam Kpop saja, namun di bidang teknologi juga seperti Samsung, dan lain lain deh. Persuasi yang dikatakan oleh pak Bambang "soft power" inilah yang menjadi kekuatan Korea Selatan dalam strategi kebudayaan mereka.
Nah, temen gue nih namanya Rizki, menangkap ide baru lagi. Dia bilang, pidato pak Bambang ini bernuansa kapitalis. Argumentasinya karena pak Bambang mengatakan bahwa kebudayaan yang beneficial, yang memiliki potensi ekonomi yang harus dikembangkan. Kita harus pintar memilih antara kebudayaan yang memiliki potensi ekonomi maupun tidak. Kalo yang berpotensi dikembangkan lagi, dikemas sedemikian rupa lalu dijual dan dijadikan daya tarik bagi masyarakat dunia, tapi kalau yang tidak memiliki potensi ekonomi dilestarikan aja lah gituu..
Nah, Rizki berpendapat lagi, kalau seperti itu, kembali lagi donk yang memilih dan memilah itu pastinya negara. Karena dalam komersialisasinya pasti melewati pemerintah dahulu. Iya juga sih kalo menurut gue.
Nah, dapet lah ya satu poin.
Kali ini gue mau share pertanyaan gue pribadi. Ceritanya kan tadi ada sesi tanya jawab, nah gue udah angkat tangan tapi batasan penanya cuma berapa orang gitu. Intinya : gue nggak berkesempatan. =_=
Nah, jadi, pak Bambang sendiri mengatakan bahwa Korea Selatan menjadi superior seperti sekarang ini berkat berbagai persuasi budaya mereka yang gencar dan oke punya lah ya. Nah, berdasarkan kuliah-kuliah yang Author ikuti, ada dosen yang mengatakan bahwa Korea Selatan bisa menjadi hebat seperti sekarang ini adalah karena kecondongan mereka kepada Pragmatisme Amerika. Nah, secara kasarnya kita bisa bilang, orang di Korea Selatan nggak perlu mikir-mikir ulang apakah Operasi Plastik itu halal atau haram. Yang penting cantik, yang penting ganteng, operasi plastik jadi dihalalkan. Yang diutamakan adalah hasilnya, yang menghalangi dalam mencapai hasil memuaskan ya dibuang.
Nah, kondisi berbeda dengan di Indonesia. Kalau misalkan Indonesia mau sukses sebenernya kan tinggal nyontek aja dari Korea Selatan kan sistemnya. Tapi masalahnya, di Indonesia terdapat banyak sekali aspek yang mempengaruhi kebijakan. Seperti tadi itu, misalkan dalam hal Oplas mengoplas, pasti di Indonesia harus mempertimbangkan aspek halal/haramnya, aspek etika dan budaya serta tradisi, kalo bisa hukum alam atau apalah gitu. Intinya : dipengaruhi agama mayoritas berlaku.
Berhubung Indonesia memiliki berbagai dimensi 'penghalang' seperti itu, lantas bagaimana cara mengemas kebudayaan Indonesia supaya bisa 'superior' seperti Korea Selatan ?
Arian sendiri waktu gue sampaikan pertanyaan ini juga mengatakan bahwa sebenernya sih di Indonesia sudah mulai mau menetapkan pandangan Pragmatis seperti itu, namun gagal karena adanya dimensi-dimensi penghalang seperti budaya lokal dan agama tadi.
Nah, ( sering banget gue pake Nah =_= ) jadi, intinya tadi gue pengen nanya, gimana caranya mengemas paketan Indonesia berdimensi multiple kea gitu ? Nah sayangnya nggak sempet kan.. =_=
Oke, ada satu hal lagi yang menarik dari kuliah umum ini. Yakni ide pak Bambang mengenai desakan ke pemerintah agar mengeluarkan peraturan kepada seluruh Minimarket di Indonesia agar wajib menjual makanan tradisional Indonesia.
Wah, menurut gue sih oke banget nih ide. Soalnya bayangin aja nih ya, kalo makanan tradisional bisa dijual di Minimarket, udah kea luar negri aja tuh. Kea Jepang tuh di minimarket ada mochi kan jadinya lucuu.. Hihihih terus apa lagi gitu di mana ada kue apaaa gitu. Jadi intinya : lucu. =_=
Oke deh semoga kebudayaan Indonesia dapet A.*eh*
Tapi amin juga sih.
Semoga Kebudayaan Indonesia semakin berkembang dan menjadi superior, nggak tenggelam oleh kebudayaan asing, namun mencuat mendominasi di kancah dunia. Amin juga :D
Udah ya mau kelas nih :D
Written by :
Kumara Ranudihardjo
At UI central library
Going to class soon
28022013-12:45
Jadi, dalam pidatonya, pak Bambang mengutarakan banyak sekali konsep dalam mengelola Kebudayaan Indonesia, termasuk strategi kebudayaan. Dimulai dari definisi Kebudayaan, 4 pilar penting dalam kebudayaan, pentingnya strategi kebudayaan, dan strategi kebudayaan itu sendiri. Yang bisa ditangkap disini adalah bahwa untuk dapat menjadi superior, sebuah kebudayaan haruslah bisa berguna, bermanfaat bagi masyarakat luas dan bagi pembangunan.
Yang pengen Author bahas disini adalah topik kesukaan Author nih, tentang Korea Selatan. Hihihi, jadi ada di salah satu contoh yang disampaikan pak Bambang, bahwa kebudayaan Korea Selatan tidak hanya dikemas dalam Kpop saja, namun di bidang teknologi juga seperti Samsung, dan lain lain deh. Persuasi yang dikatakan oleh pak Bambang "soft power" inilah yang menjadi kekuatan Korea Selatan dalam strategi kebudayaan mereka.
Nah, temen gue nih namanya Rizki, menangkap ide baru lagi. Dia bilang, pidato pak Bambang ini bernuansa kapitalis. Argumentasinya karena pak Bambang mengatakan bahwa kebudayaan yang beneficial, yang memiliki potensi ekonomi yang harus dikembangkan. Kita harus pintar memilih antara kebudayaan yang memiliki potensi ekonomi maupun tidak. Kalo yang berpotensi dikembangkan lagi, dikemas sedemikian rupa lalu dijual dan dijadikan daya tarik bagi masyarakat dunia, tapi kalau yang tidak memiliki potensi ekonomi dilestarikan aja lah gituu..
Nah, Rizki berpendapat lagi, kalau seperti itu, kembali lagi donk yang memilih dan memilah itu pastinya negara. Karena dalam komersialisasinya pasti melewati pemerintah dahulu. Iya juga sih kalo menurut gue.
Nah, dapet lah ya satu poin.
Kali ini gue mau share pertanyaan gue pribadi. Ceritanya kan tadi ada sesi tanya jawab, nah gue udah angkat tangan tapi batasan penanya cuma berapa orang gitu. Intinya : gue nggak berkesempatan. =_=
Nah, jadi, pak Bambang sendiri mengatakan bahwa Korea Selatan menjadi superior seperti sekarang ini berkat berbagai persuasi budaya mereka yang gencar dan oke punya lah ya. Nah, berdasarkan kuliah-kuliah yang Author ikuti, ada dosen yang mengatakan bahwa Korea Selatan bisa menjadi hebat seperti sekarang ini adalah karena kecondongan mereka kepada Pragmatisme Amerika. Nah, secara kasarnya kita bisa bilang, orang di Korea Selatan nggak perlu mikir-mikir ulang apakah Operasi Plastik itu halal atau haram. Yang penting cantik, yang penting ganteng, operasi plastik jadi dihalalkan. Yang diutamakan adalah hasilnya, yang menghalangi dalam mencapai hasil memuaskan ya dibuang.
Nah, kondisi berbeda dengan di Indonesia. Kalau misalkan Indonesia mau sukses sebenernya kan tinggal nyontek aja dari Korea Selatan kan sistemnya. Tapi masalahnya, di Indonesia terdapat banyak sekali aspek yang mempengaruhi kebijakan. Seperti tadi itu, misalkan dalam hal Oplas mengoplas, pasti di Indonesia harus mempertimbangkan aspek halal/haramnya, aspek etika dan budaya serta tradisi, kalo bisa hukum alam atau apalah gitu. Intinya : dipengaruhi agama mayoritas berlaku.
Berhubung Indonesia memiliki berbagai dimensi 'penghalang' seperti itu, lantas bagaimana cara mengemas kebudayaan Indonesia supaya bisa 'superior' seperti Korea Selatan ?
Arian sendiri waktu gue sampaikan pertanyaan ini juga mengatakan bahwa sebenernya sih di Indonesia sudah mulai mau menetapkan pandangan Pragmatis seperti itu, namun gagal karena adanya dimensi-dimensi penghalang seperti budaya lokal dan agama tadi.
Nah, ( sering banget gue pake Nah =_= ) jadi, intinya tadi gue pengen nanya, gimana caranya mengemas paketan Indonesia berdimensi multiple kea gitu ? Nah sayangnya nggak sempet kan.. =_=
Oke, ada satu hal lagi yang menarik dari kuliah umum ini. Yakni ide pak Bambang mengenai desakan ke pemerintah agar mengeluarkan peraturan kepada seluruh Minimarket di Indonesia agar wajib menjual makanan tradisional Indonesia.
Wah, menurut gue sih oke banget nih ide. Soalnya bayangin aja nih ya, kalo makanan tradisional bisa dijual di Minimarket, udah kea luar negri aja tuh. Kea Jepang tuh di minimarket ada mochi kan jadinya lucuu.. Hihihih terus apa lagi gitu di mana ada kue apaaa gitu. Jadi intinya : lucu. =_=
Oke deh semoga kebudayaan Indonesia dapet A.*eh*
Tapi amin juga sih.
Semoga Kebudayaan Indonesia semakin berkembang dan menjadi superior, nggak tenggelam oleh kebudayaan asing, namun mencuat mendominasi di kancah dunia. Amin juga :D
Udah ya mau kelas nih :D
Written by :
Kumara Ranudihardjo
At UI central library
Going to class soon
28022013-12:45
No comments:
Post a Comment