Dalam
berbagai pemikirannya mengenai religious life, Nietzsche mengungkapkan
ketidaksetujuannya dengan ajaran-ajaran agama, bagaimana para pengikut agama
sebenarnya hanya dibodohi, serta keanehan-keanehan yang ada pada ajaran agama. Inti
dari pemikirannya ialah bahwa
agama hanyalah sesuatu yang menciptakan suatu imajinasi yang mana imajinasi tersebut menghalangi manusia dari berbuat sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Agama menurutnya merupakan suatu kesesatan berpikir, bagaimana manusia berpikir irrasional untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh mereka, seperti ketika rasa displeasure terkadang dengan seketika hilang begitu saja dan seseorang menjadi bersemangat kembali.[1] Kesesatan berpikir seperti itulah yang Nietzsche katakan sebagai alasan mengapa agama harus dihindari. Bagi dirinya, agama yang mendoktrin pengikutnya untuk mencela penjelasan rasional tentang agama, merupakan suatu kekangan yang nantinya dapat mereduksi eksistensi manusia sendiri. Bagaimana tidak ? Padahal di depan mata tersedia berbagai macam pertanyaan-pertanyaan yang susah untuk dijawab oleh agama,yang apabila kita coba untuk jelaskan secara rasional, agama mengutuk penjelasan tersebut, menganggapnya sebagai kenistaan (136).
agama hanyalah sesuatu yang menciptakan suatu imajinasi yang mana imajinasi tersebut menghalangi manusia dari berbuat sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Agama menurutnya merupakan suatu kesesatan berpikir, bagaimana manusia berpikir irrasional untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh mereka, seperti ketika rasa displeasure terkadang dengan seketika hilang begitu saja dan seseorang menjadi bersemangat kembali.[1] Kesesatan berpikir seperti itulah yang Nietzsche katakan sebagai alasan mengapa agama harus dihindari. Bagi dirinya, agama yang mendoktrin pengikutnya untuk mencela penjelasan rasional tentang agama, merupakan suatu kekangan yang nantinya dapat mereduksi eksistensi manusia sendiri. Bagaimana tidak ? Padahal di depan mata tersedia berbagai macam pertanyaan-pertanyaan yang susah untuk dijawab oleh agama,yang apabila kita coba untuk jelaskan secara rasional, agama mengutuk penjelasan tersebut, menganggapnya sebagai kenistaan (136).
Bagi
saya sendiri, pemikiran yang dikemukakan Nietzsche memiliki argumen yang cukup
logis dan bisa diterima oleh akal. Namun penjelasan Nietzsche sendiri terkadang
dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru berdasarkan dari implikasi
pernyataannya. Ada poin-poin seperti Blind
Disciple yang menyebutkan bahwa manusia, ketika tidak dapat menemukan
kelemahan dari suatu ajaran, suatu karya, ataupun suatu agama, ia cenderung
untuk dengan taat mengikutinya. Dengan tidak langsung, ia telah berlutut dan
berserah diri, menyerah akan kehebatan masternya. Bisa kita simpulkan juga
bahwa, dengan mudahnya manusia menjatuhkan harga diri mereka, dengan pasrah
mengikuti aliran tersebut tanpa adanya usaha untuk mengalahkan aliran tersebut.
Kebodohan yang mereka tunjukkan, sebenarnya justru melanggengkan ajaran-ajaran
dari agama.
Saya
sendiri juga setuju bahwa, seseorang tidak akan berharga tanpa orang lain,
seperti yang Nietzsche katakan, bahwa
tanpa pengikut dari suatu ajaran yang buta akan kelemahan ajaran tersebut, maka
seseorang tidak akan dapat merayakan pengetahuannya, tidak akan mendapat
pengaruh yang besar, serta karyanya akan menjadi tidak berarti. Namun disini
saya menangkap juga bahwa, jika kita asumsikan Nietzsche ingin mengajarkan pada
kita bahwa agama itu menipu, agama itu sesuatu yang harus kita lenyapkan, maka
ajaran Nietzsche sendiri tidak akan ada artinya jika tidak ada orang yang
dibodohinya, tidak ada orang yang dengan pasrah menerima ajarannya tersebut.
Jadi sebenarnya kritiknya yang satu ini terhadap agama, juga berlaku untuk
ajarannya kepada manusia untuk menjadi manusia super.
Dalam
poinnya yang lain (133), Nietzsche juga membuat saya setuju bahwa manusia bisa
seperti sekarang ini,bukan dikarenakan adanya dosa dan rasa bersalah, namun
karena kesesatan berpikirnya yang menciptakan sebuah kaca yang terlampau
sempurna. Tentu saja kita merasa rendah, apabila kita bercermin dengan
menggunakan kaca yang berisi segala sesuatu yang lebih baik daripada kita. Dan
sebenarnya, kaca yang menyesatkan ini adalah buatan kita sendiri, dan dalam
rangka kita bisa menjulangkan diri kita setinggi-tingginya, berkarya sehebat
mungkin, maka kita harus menghancurkan kaca yang menjadi penghalang tersebut.
Hal ini sebenarnya sesuai dengan solusi-solusi yang ditawarkan oleh Psikologi,
dan oleh karenanya, argumen ini dapat diterima oleh akal. Sehingga, jika Tuhan
yang melarang dan membatasi kita tersebut dihilangkan, menurut Nietzsche maka
manusia dapat menghilangkan pula rasa bersalahnya, tidak ada lagi yang namanya
dosa, sehingga manusia mampu dengan semaksimal mungkin berkarya dan menjadi
unggul.
Pemikiran
Nietzsche sebenarnya bagi saya memang ada benarnya. Seperti bahwa tidak ada
yang benar-benar melakukan sesuatu dengan tendensi semata-mata untuk orang
lain. How can ego act without ego ?[2]
Segala kegiatan kita, sebenarnya bertujuan untuk diri kita sendiri, meskipun
dengan modus yang bermacam-macam. Memang benar bagi saya pernyataan tersebut,
dan menurut saya, hal ini dapat juga diterapkan pada tindakan Nietzsche yang
mengajarkan kita mengenai hal ini. Tentunya sesuai dengan ajarannya, ajaran
Nietzsche juga bertujuan untuk dirinya sendiri bukan ? Oleh karena itu, dapat
saya simpulkan juga bahwa sebenarnya, tidak ada suatu perilaku pun yang
betul-betul untuk orang lain, atau dapat juga kita katakan, tidak ada yang yang
namanya Ikhlas.
Berkarya dan menjadi unggul~
ReplyDeleteehh ? emg km ngerti ? hihihihihi
Delete