Rubrik Today's Newspaper kali ini agak-agak geli deh ya. Kali ini kita akan membahas saran-saran dan berbagai perhatian pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Pilpres 2014 mendatang. Menggunakan sumber dari Jawa Pos edisi 16 Januari 2013, kita bisa lihat dalam berita tersebut, bermacam pandangan pak SBY terhadap Pillpres mendatang.
Oke, fokus utama kita tentunya pada opini pak SBY tentang kampanye menggunakan musik dangdut. Di samping saran-sarannya pada para calon untuk berkompetisi secara baik, pak SBY juga menghimbau agar mengurangi massa dalam kampanye. Ceritanya nih, pak SBY memaparkan agar kampanye tidak lagi menggunakan massa yang berlebihan, cukup berapa ribu saja, di dalam ruang tertutup. Tidak seabrek seperti biasanya, rame-rame (dan terlihat OMG nggak banget menurut gue ), serta cenderung menimbulkan kerusuhan.
Alasan pak SBY cukup bisa kita cerna ketika kita membaca awal-awal artikel koran ini. Begitu pula dengan saya nih, setuju di awal artikel, karena "yah, emang nggak banget kan orang-orang berkerumun nggak jelas gitu. apalagi karena dibayar.. -_-".
Pak SBY juga menyarankan, yang penting rakyat mendengar, nggak perlu mengeluarkan dana berlebih dalam menyewa massa, yang penting pula, media menyiarkan dengan baik pula.
Namun, ada pernyataan pak SBY yang kira-kira intinya untuk tidak berkampanye dengan menggunakan konser-konser dangdut. Yang penting rakyat mendengar, tidak berkerumun berjubel nggak jelas, minta air, kea di konser-konser dangdut itu.
Nah, opini gue.
Bener sih, emang tuh liat aja, liat konser-konser dangdut emang bikin illfeel. Ini pendapat pribadi yah. Emang kalau kampanye pake dangdut-dangdutan itu terkesan nggak banget. Rasanya tuh seakan akan, massa datang kesana gara-gara dangdutnya, bukan karena murni mendukung calon-nya.
Kalau udah seperti itu, keliatan banget donk 'dibayar' nya.
Keliatan banget juga donk kalau masyarakat Indonesia 'kurang rasional', alasannya ya karena itu tadi, datang karena dibayar, datang karena musiknya doank, teler buka baju saweran lalalala..
Maap ya, tapi.. Martabatnya itu lhoh... Aduh.. Gimana ya.. -_-
Komentar terhadap statement pak SBYdatang dari Ikke Nurjanah dan Iis Dahlia.
Setelah membaca kontra argumen Ikke, kita juga dibuat manggut-manggut dengan argumennya.
Bahwa Dangdut adalah musik Indonesia yang mau dijadikan heritage ke UNESCO. Dan bahwa musik jenis lain pun bisa mengundang massa banyak. Dan bahwa kerusuhan disebabkan bukan karena musik dangdutnya. Dan bahwa intinya mereka menganggap bahwa statement pak SBY bernilai diskriminatif terhadap jenis musik tertentu.
Yah, oke. Bener sih.
Tapi, menurut gue nih yaa..
Kalau kita liat di kenyataan, emang musik dangdut kok yang selama ini cenderung bikin kerusuhan. Musik jenis lain emang ada sih, tapi nggak sesering musik dangdut.
Mungkin nih ya, mungkiiinn.. Hal ini disebabkan juga dengan budaya saweran, budaya goyang seksi, budaya pakaian minim penyanyi dangdut wanita, dan teler.
Otomatis lah ya, kalau kita pikirin, penonton pria kalau disajikan dengan hal-hal membudaya di genre dangdut seperti itu, ya jadi teler beneran donk. Kalau udah teler, kecenderungan untuk melakukan ini itu menguat donk ya.
Musiknya emang nggak salah. Tapi entah kenapa, budayanya yang emang 'pada kenyataannya' harus kita akui bahwa ada sisi yang kurang dari 'konser-konser dangdut'.
Inget yaa, ini menurut guee.. -_-
Bisa bayangin nggak sih ? Orang-orang dibayar untuk datang ke suatu tempat, yang pada intinya sebenarnya untuk dengerin orasi calon pemimpin dan mendukungnya, tapi mereka akhirnya teler 'nggak banget' gara-gara budaya dangdut kita yang seperti itu.
Okay, Dangdut is the music of my country. Masukin UNESCO, then It's WOW on me.
Tapi, budayanya itu lhoh..
Emmm, kalian ngerti kan ?
Written by :
Kumara Ranudihardjo
At his home
Still awake
16012013-21:30
Oke, fokus utama kita tentunya pada opini pak SBY tentang kampanye menggunakan musik dangdut. Di samping saran-sarannya pada para calon untuk berkompetisi secara baik, pak SBY juga menghimbau agar mengurangi massa dalam kampanye. Ceritanya nih, pak SBY memaparkan agar kampanye tidak lagi menggunakan massa yang berlebihan, cukup berapa ribu saja, di dalam ruang tertutup. Tidak seabrek seperti biasanya, rame-rame (dan terlihat OMG nggak banget menurut gue ), serta cenderung menimbulkan kerusuhan.
Alasan pak SBY cukup bisa kita cerna ketika kita membaca awal-awal artikel koran ini. Begitu pula dengan saya nih, setuju di awal artikel, karena "yah, emang nggak banget kan orang-orang berkerumun nggak jelas gitu. apalagi karena dibayar.. -_-".
Pak SBY juga menyarankan, yang penting rakyat mendengar, nggak perlu mengeluarkan dana berlebih dalam menyewa massa, yang penting pula, media menyiarkan dengan baik pula.
Namun, ada pernyataan pak SBY yang kira-kira intinya untuk tidak berkampanye dengan menggunakan konser-konser dangdut. Yang penting rakyat mendengar, tidak berkerumun berjubel nggak jelas, minta air, kea di konser-konser dangdut itu.
Nah, opini gue.
Bener sih, emang tuh liat aja, liat konser-konser dangdut emang bikin illfeel. Ini pendapat pribadi yah. Emang kalau kampanye pake dangdut-dangdutan itu terkesan nggak banget. Rasanya tuh seakan akan, massa datang kesana gara-gara dangdutnya, bukan karena murni mendukung calon-nya.
Kalau udah seperti itu, keliatan banget donk 'dibayar' nya.
Keliatan banget juga donk kalau masyarakat Indonesia 'kurang rasional', alasannya ya karena itu tadi, datang karena dibayar, datang karena musiknya doank, teler buka baju saweran lalalala..
Maap ya, tapi.. Martabatnya itu lhoh... Aduh.. Gimana ya.. -_-
Komentar terhadap statement pak SBYdatang dari Ikke Nurjanah dan Iis Dahlia.
Setelah membaca kontra argumen Ikke, kita juga dibuat manggut-manggut dengan argumennya.
Bahwa Dangdut adalah musik Indonesia yang mau dijadikan heritage ke UNESCO. Dan bahwa musik jenis lain pun bisa mengundang massa banyak. Dan bahwa kerusuhan disebabkan bukan karena musik dangdutnya. Dan bahwa intinya mereka menganggap bahwa statement pak SBY bernilai diskriminatif terhadap jenis musik tertentu.
Yah, oke. Bener sih.
Tapi, menurut gue nih yaa..
Kalau kita liat di kenyataan, emang musik dangdut kok yang selama ini cenderung bikin kerusuhan. Musik jenis lain emang ada sih, tapi nggak sesering musik dangdut.
Mungkin nih ya, mungkiiinn.. Hal ini disebabkan juga dengan budaya saweran, budaya goyang seksi, budaya pakaian minim penyanyi dangdut wanita, dan teler.
Otomatis lah ya, kalau kita pikirin, penonton pria kalau disajikan dengan hal-hal membudaya di genre dangdut seperti itu, ya jadi teler beneran donk. Kalau udah teler, kecenderungan untuk melakukan ini itu menguat donk ya.
Musiknya emang nggak salah. Tapi entah kenapa, budayanya yang emang 'pada kenyataannya' harus kita akui bahwa ada sisi yang kurang dari 'konser-konser dangdut'.
Inget yaa, ini menurut guee.. -_-
Bisa bayangin nggak sih ? Orang-orang dibayar untuk datang ke suatu tempat, yang pada intinya sebenarnya untuk dengerin orasi calon pemimpin dan mendukungnya, tapi mereka akhirnya teler 'nggak banget' gara-gara budaya dangdut kita yang seperti itu.
Okay, Dangdut is the music of my country. Masukin UNESCO, then It's WOW on me.
Tapi, budayanya itu lhoh..
Emmm, kalian ngerti kan ?
Written by :
Kumara Ranudihardjo
At his home
Still awake
16012013-21:30
No comments:
Post a Comment