Saturday, July 12, 2014

Mencapai Puncak

“Ingat, 1 puncak itu disediakan hanya untuk 1 orang, jadi harus siap dengan kesendirian, harus pantang menyerah.” - Nyoman Anjani



That's a quote from Nyoman Anjani. Gue tahu kalimat itu dari kampusupdate.com - biasalah anak muda tongkrongannya kampusupdate. Sudah lama sebenernya gue lihat kalimat itu. Dan pertama kali gue baca kalimat itu, gue setuju, dan gue saat itu fascinated dengan kalimat itu.

Namun baru kali ini gue mungkin akan menggunakan quote itu untuk artikel gue ini. Ya, situasinya sangat pas dengan yang terjadi barusan, belakangan ini. Bukan, bukan gue yang mencapai puncak, it's him, my best friend.

We used to be a best friend. Tagging along wherever each other go. But now it's different.

Karena ia sudah mencapai puncak. Yang ia impikan selama ini.

4 tahun yang lalu, ketika kami berada dalam kompetisi yang sama, we both achieved the final spotlight. But then, it is me who got the title.

For me, winning something like that isn't comparable with the joy of being around my best friends. Karena itulah, hari-hari gue menjalani title tersebut terasa sangat bahagia. Karena dia tagging along as usual, as if nothing happened, though I know that he's feeling a bit jealous. We both know and I keep encouraging him.


But then now he achieved that title, even surpassing me, 4 years after our initial competition ended. Dengan kondisi yang sudah benar-benar berbeda, kemampuan yang sudah polished a lot, he surpassed me now.

I am happy. Of course, as his best friend I am happy for him. But now we're different. Ia harus menjalani title nya sendirian dengan teman-teman barunya, lingkungan barunya, tugas barunya, kebanggan barunya.

Dan mungkin karena gue sudah terlalu tua untuk ikut-ikutan organisasi itu, organisasi yang selalu membuat gue bahagia. Sekarang gue harus menjaga jarak dengan organisasi ini, dan juga dengannya. Gue nggak suka, jujur saja.

Gue nggak kenal mereka, karena faktisitas yang gue miliki, gue nggak bisa mengenal mereka, dan sekarang sudah terlambat untuk lebih dekat dengan mereka. Sok asyik sendiri dengan kegiatan mereka, yang dulunya kegiatan gue dan teman-teman gue. Sang ketua dulu pernah bilang ke gue kalau semuanya adalah keluarga. Tapi sekarang begitu angkatan baru telah tercipta, gue cuma bisa sumpah serapah dalam hati melihat kelakuan orang-orang baru ini asyik sendiri seakan organisasi ini milik mereka saja.

Gue jujur merasa nggak berhak di satu sisi. Karena yah emang gue udah tua, dan bukan tanggung jawab gue lagi, memang ini giliran mereka. Tapi, tetap saja gue merasa kehilangan. Apalagi my best friend menjadi anggota utama dalam orang-orang baru ini.

Memang benar mungkin apa kata Nyoman Andjani. Ketika mencapai puncak, kita harus siap dengan kesendirian. Karena memang puncak itu tempatnya lebih sempit daripada lahan di bawahnya, secara otomatis puncak menjadi sebuah tempat ekslusif yang hanya bisa diisi oleh orang-orang tertentu. Puncak dengan demikian hanya bisa diisi oleh sedikit orang. Artinya, kita harus siap kehilangan banyak hal supaya bisa fit di puncak.

Ada satu orang yang nggak setuju dengan pernyataan ini. Ia bilang mencapai puncak nggak selalu harus sendirian, karena ia masih mempunyai keluarga, sahabat, dan Tuhannya. But in reality, gue masih percaya bahwa puncak yang sesungguhnya memang penuh dengan rasa sepi. Akan ada banyak orang yang mencoba untuk menjatuhkan kita dan siap menerkam dari bawah untuk menggantikan posisi puncak kita. Akan ada banyak orang yang tersenyum palsu untuk membuat kita lengah. Dan gue masih percaya hal ini.

Dan hal ini menurut gue sudah terbukti. Dari perspektif gue, my best friend ini sekarang bergaul dengan teman-teman barunya. Ia sudah kehilangan sesuatu, yakni kebersamaan bersama gue dan teman-teman kami dulunya. Ia mendapatkan sesuatu yang baru, tapi dalam saat yang bersamaan ia kehilangan gue dan yang lainnya. Mungkin ini sudah menjadi teori, we take and give. We get something and then lose something in exchange.

Tapi anehnya, bukan dia saja yang merasakan rasa sepi ini. Meskipun dalam hal ini yang mencapai puncak adalah dia, yang mendapatkan popularitas adalah dia, yang mendapatkan gelar adalah dia, tapi ternyata gue sebagai orang yang hilang darinya juga merasakan kesepian ini. I can't do anything. Dan gue cuma bisa let him go, enjoying his dreams that now come true. Dan gue sekarang bisa berkesimpulan, ternyata bukan hanya yang mencapai puncak yang merasakan kesepian, tapi orang yang ditinggalkan untuk menggapai puncak itu juga merasakannya.

But it doesn't matter for me.
It's only about life.

I still have many things, and in fact, I get a lot new things, including experience and new friends to tag along. Apa yang gue tulis di sini sekarang sebenarnya hanya sebuah peringatan pada gue, bahwa nantinya untuk mencapai puncak, gue harus siap untuk kehilangan apa yang gue sayangi.
And for now, I want to enjoy this very moment to be around those who love me.  Because in fact, I have to let them go someday, while keeping them in my heart.

Written by :
Kumara Ranudihardjo
At his home
First July post
12072014-23:23

3 comments:

  1. Kesepianku berasal dari pembuktian bahwa aku istimewa. Chuck Spezzano , Ph.D

    Kumara, bukankah kita sdh pernah membahas, berada di Puncak...sangatlah sepi.

    Ikhlaskan regenerasi kepemimpinan antara kamu dan sahabatmu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mb esther. memang sulit untuk bisa ikhlas. karena ak sekarang ini harus melepaskan sesuatu sementara masih belum memiliki gantinya. ak skrg measa sepi karena ditinggal olehnya, tp what makes me special ? ak masih blm menemukan pembuktian bahwa ak istimewa di suatu hal =_=

      Delete
  2. Lakukan pendakian puncak berikutnya.

    Aku berkali-kali remind you,
    Dirimu sangat berpotensi.

    Pegang teguh itu di hatimu.

    ReplyDelete