Wednesday, January 14, 2015

Unholiday



Happy New Year 2015 !
Ingin rasanya mengatakan hal itu. Cuman awal tahun ini kita bangsa Indonesia sedang berduka dengan adanya kasus kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh akhir Desember 2014. L
iburan yang hendak direncanakan para korban kini tinggal menjadi petaka. Sedih rasanya melihat berita-berita di berbagai stasiun televisi yang berisi fakta-fakta yang sesungguhnya tidak kita harapkan terjadi pada kita, maupun pada orang lain. Tapi kenyataan berkata lain, manusia bisa berbuat apa ?
Kini, gue sebagai mahasiswa semester akhir yang diwajibkan untuk menulis sebuah skripsi sebagai persyaratan lulus dan mendapa gelar sarjana, tengah menikmati liburan. Entah bisa dikatakan liburan atau tidak. Waktu berlibur tersedia selama 1 bulan lebih 2 minggu. Namun gue udah berancang-ancang akan mengakhiri liburan secara prematur dengan segera kembali ke perantauan 2 minggu sebelum kegiatan akademik resmi berlangsung. Sudah jelas untuk mempersiapkan proposal skripsi yang harus sudah diserahkan kepada Prodi untuk discreening. Rasa was-was, takut, cemas, stress, menyelimuti perasaan gue, yang notabene sedang berlibur. Lantas, apakah hal ini layak disebut berlibur ketika waktu senggang dan limpahan me-time terus menerus dihantui perasaan-perasaan cemas seperti itu ? Gue rasa nggak.
Di samping itu, liburan akan terasa lebih bermakna apabila didampingi oleh sahabat-sahabat bermain, yang menemani kita menggila di manapun dan kapanpun. Dan lihatlah faktanya sekarang, temen-temen gue sibuk mengurus skripsi masing-masing, sibuk mencari pekerjaan, sibuk kegiatannya masing-masing, dan bahkan ada yang sedang terkapar sakit gara-gara terlalu fokus dengan skripsi. What a pity.
Gue termenung dan bertanya-tanya, apa sih makna liburan itu ?
Kini gue di kamar sendirian, mencoba mengingat apa saja yang telah gue lakuin selama 2 minggu di rumah ini. Nothing. Hanya di kamar, tidur, bangun, sarapan, mandi, menjemur pakaian, pergi keluar kalau ada kerjaan, pulang, makan, mandi, bermain laptop, tidur lagi. Di sela-sela kegiatan super monoton itu, terkadang gue nongkrong bareng temen (baca: Ukhti Anita dan Yu Fredy) ke suatu tempat. Ya, hanya dua. Dan itupun mereka nggak bisa setiap hari keluar bareng gue. Ada saat-saat di mana gue harus rela melepas mereka untuk menikmati waktu pribadi mereka sendiri. Dan here I am, nothing to do. Anita sibuk mencari pekerjaan, Fredy sibuk mempersiapkan  kompetisinya dan mengurus adiknya.
Dan gue selalu menyalahkan diri gue sendiri karena waktu luang yang melimpah ini selalu nggak gue manfaatin untuk sekedar membaca artikel-artikel online sebagai bahan untuk menyusun skripsi. Dan gue hanya bisa sebatas menyalahkan diri sendiri, tidak bertindak. Dan bahkan waktu produktif yang tersedia nggak gue manfaatin untuk sekedar menulis artikel blog yang memang sudah penuh dengan sarang laba-laba. Apa kabar buku yang hendak gue terbitin untuk pertama kalinya ? Macet hingga chapter 4, padahal masih ada belasan chapter lagi yang menunggu untuk dituangkan. Oh God, apakah sekuat ini kekuatan malas yang sebetulnya ? Apakah gue harus menemukan kekuatan super yang kekuatannya jauh melebihi dahsyatnya rasa malas ini ?
Sebetulnya bukan hanya rasa malas ini yang menjadi penghalang produktifitas gue, sebagai manusia. Pepatah memang benar bahwa lingkungan sangat mempengaruhi kondisi seseorang. Suasana kota kecil tempat kelahiran gue ini sangatlah tidak produktif. Kedamaian hidup terlalu banyak di sini, di mana gue mampu hidup dengan sangat nyaman di sini, segalanya tercukupi, dan makanan enak yang murah bertebaran di mana-mana ! Cuaca dan lingkungan yang tidak bising, jauh dari polusi, jauh dari keramaian, membuat semangat menjadi ikut berayun dalam lantunan melodi kedamaian. Dan sekarang bahasa gue udah mulai ngelantur dan alay, that’s the proof.
Sudah gue duga, dulu sebelum pulang kampung, gue udah merasa nggak enak. Gue takut ketika gue pulang nanti, gue nggak bakal produktif. Suasana yang nggak kondusif, orang-orang yang nggak berpemikiran revolusioner, mindset yang masih terikat pada adat dan budaya setempat, bener-bener jadi penghalang bagi produktifitas gue. Ketika pulang ke sini, pasti orang-orang yang gue temui dan gue kenal di sini akan membicarakan hal-hal yang sama, yakni pageant. Ya, gue bergaul dan memiliki history pertemanan erat dengan orang-orang duta wisata dan setiap kali gue kembali pulang ke kampung halaman, merekalah yang selalu menyambut gue dengan tangan terbuka. That’s my place to come back to. Tapi now that I am about to graduate, pikiran gue nggak bisa lagi sekanak-kanak itu untuk membicarakan hal-hal yang kurang relevan dengan masa depan gue. Seperti misalkan menggosipkan peserta pageant tertentu, menggosipkan ajang duta wisata tertentu, diskusi ingin mengikuti ajang apa lagi, dan seterusnya. Gue nggak bisa lagi menikmati hahahihi yang jika dikalkulasi untung ruginya secara material, nggak ada gunanya. Bisa dapat berapa juta rupiah gue dengan menggosipkan orang yang nun jauh di sana ? Bisa makan berapa kali gue sehabis bermimpi siang bolong ingin menjadi artis ? Nothing. Dan gue berada dalam tahap di mana segala sesuatu harus gue lakuin secara real, nyata, menjejak ke tanah, tidak abstrak, tidak omdo, secara fisik, empiris, dan apalah lagi kalimat yang bisa menggambarkan hal itu. Nyata ! Gue udah cukup bermimpi, sekarang sudah saatnya gue melakukan hal nyata untuk mewujudkan mimpi itu !
And the time is now. Liburan ? Sorry, it won’t be the same anymore.
I need to settle my things.
Now.


Written by :
Kumara Ranudihardjo
At his home
Gonna sleep
14012015-23:23

No comments:

Post a Comment