Wednesday, September 25, 2013

Laki-Laki dan Perempuan

Cerita ini berawal dari pengalaman gue yang saat itu tengah mengadakan buka puasa bersama di rumah mas Yuzki. Eh, yang mengadakan buka puasa bersama nya bukan gue, tapi mas Yuzki nya yang jadi tuan rumah gituu.. Yak, dan saat itu kami anggota Permata berkumpul dan berbagi kisah mengenai segala hal.. Meskipun nggak segala hal juga sih.. Intinya,
banyak hal kami tuangkan di sana, berhubung mas Yuzki dan mas Jati juga sudah lulus kuliah, mbak Dinar juga sudah bekerja di Kalimantan, jadi kami sebagai junior mereka mendapatkan wejangan-wejangan yang sewajarnya datang dari para sesepuh lah ya..

Jadi, obrolan kami awalnya yaaah, biasa aja lah basa basi dulu. Rencana ke depan, bagaimana dunia kerja setelah lulus kuliah, dan semacamnya. Nah, ngomongin kegiatan setelah lulus kuliah, otomatis termasuk di dalamnya adalah kegiatan itu donk.. Ya kan.. 
Apa sih ?? Hmmm... Kasih tau nggak yaa.. Eh yaudah kasih tau aja, biar ceritanya jalan..

Menikah

Dan semua orang di ruangan tersebut mulai terdiam. Yaa, mungkin karena ada yang belum siap, ada yang pengen kerja dulu, mungkin juga ada yang belum punya pacar, jadi merasa tertohok ketika topik ini diangkat. =_=

Namun inti dari yang pengen gue ceritain di sini adalah, bahwa ada satu quote dari mas Yuzki yang pengen gue bahas di sini.
Mas Yuzki :
Laki-laki itu yang dilihat adalah masa depannya, sementara perempuan itu yang dilihat adalah masa lalunya.

Mendengar kalimat kea gitu, gue dalam sesaat merasa belum ngeh apa maksudnya. Namun berkat pelajaran gue di filsafat, gue jadi paham sesaat setelah merenungkannya (eh nggak karena filsafat juga sih :D).

Ya, menurut gue bener.

Dalam dunia patriarkal ini, orang kalo mencari jodoh pasti pake rumus-rumus itu di dalam kepala mereka. Yah, selain pepatah jawa yang "ingat bibit bebet bobot nya" ituu, overall, quote mas Yuzki tadi emang selalu kepake di dunia zaman sekarang ini.

Cowok, di mata calon istri dan calon mertuanya, pasti di scan dulu deh, apakah si cowok ini KE DEPANNYA bakal bisa ngejaga si cewek ini ato nggak. Dalam artian, ia bisa menjaga tuh adalah ia bisa memberi nafkah istrinya, anaknya kelak kalo uda lahir, menghidupi keluarganya kelak, and the list goes on..
Dengan begitu, cowok dengan pekerjaan yang mantap, stabil, apalagi kalo penghasilan gede banget, dan apalagi ganteng, secara fisik oke, moral juga baik, pasti segera diluluskan oleh sang calon mertua untuk bisa MENGAMBIL anak ceweknya.

Di sisi lain, cewek di mata calon suaminya dan juga papah mamahnya si cowok, dengan menggunakan rumus quote tadi, yang dilihat adalah masa lalunya. Yah, bisa dikatakan track record si cewek ini gimana deh, dibuka tuh history nya. Apakah si cewek ini selama hidupnya baik-baik ato nggak, atau kasarannya 'masih perawan' nggak. Apakah ia dulunya gadis baik-baik ato nggak, jadi sang cowok ketika MENGAMBIL si cewek ini merasa puas.. Emmmm, diartikan sendiri aja deh pemirsa :D

Nah, yang mau gue tambahkan di sini adalah.. bahwa gue merasa..

"Kok kea nggak ada bedanya sama beli barang di pasar ya ?"

Ya, laki-laki bisa diibaratkan calon pembeli. Papah mamah si cowok adalah konsultan si pembeli ini. Sang cewek adalah barang yang mau dibeli, yaaa misalkan aja Guci Keramik di pasar. Sementara itu, papah mamah si cewek adalah penjual Guci Keramik itu.

Penjual guci keramik, yang sungguh sangat sayang pada guci berharganya itu, tentunya hanya akan merelakan guci keramik langka itu kepada pembeli yang memang telah lolos uji kelayakan untuk menjadi Wakil Rakyat.. oh nggak, salah, maap, jadi pemilik baru dari Guci Keramik itu. Karena Guci Keramik itu membutuhkan perawatan yang sungguh ekstra, tentunya calon pembeli haruslah memiliki kapabilitas yang tinggi untuk menjaga dan merawat Guci Keramik itu. Nggak mungkin donk Guci Keramik ini nantinya dijual pada seorang kere yang kebetulan punya duit untuk beli, namun duit untuk merawatnya nggak ada. Ngelap tiap hari, dijaga dari tangan anak kecil biar nggak pecah, and so on lah, misalkan. Orang yang bisa dipercayai untuk bisa menjaga barang langka ini harus dilihat prospek masa depannya terlebih dahulu, sebelum akhirnya sang penjual Guci merelakan Gucinya dibeli oleh sang pembeli, yakni si cowok.

Sementara itu, para konsultan sang pembeli guci ini juga meng-eksaminasi guci-guci yang tersedia di pasar. Ia membantu sang pembeli untuk memilih guci yang paling baik. Guci yang memiliki nilai guna yang tinggi, misalkan untuk menyimpan bunga kek, sebagai pajangan kek, yah, sama dengan nilai gunanya ketika nanti seorang istri ditugasi untuk memasak, menjaga anak, dan lain sebagainya. Dalam proses ini, sang konsultan melihat dulu track record guci yang hendak dibeli oleh klien nya, misalkan meneliti asal usul Guci Keramik itu, apakah dibawa ke pasar dengan benar--nggak dibawa secara kasar dan penuh goresan, misalkan--, meneliti apakah Guci tersebut terbuat dari bahan asli atau bahan KW, atau semacamnya. Ya, intinya, bayangin aja seperti kurator seni atau pengamat berlian deh pemirsa.

Setelah melalui proses berpikir dan proses menganalogikan tersebut, gue jadi merasa "kasihan banget ya si cewek, atau perempuan ini."

Ya, ia bagaikan barang yang diperjualbelikan. Ketika ia rusak, tidak ada yang mau membelinya. Di sisi lain juga, tuntutan untuk sang cowok juga keras sekali. Ia membutuhkan sebuah Guci, untuk menghias rumahnya ( menghias ruang di hatinya... kyaaaaa.. >,< ) namun untuk dapat membeli Guci tersebut, ia harus memiliki duit yang cukup untuk membeli dan merawatnya kelak.

Bisa nangkep nggak sih analogi gue ?

Cuman, emang kita nggak bisa lepas dari kondisi seperti ini. Yah, apa boleh buat.. Mungkin kondisi ini bisa diubah, namun, sepertinya bakal susah banget, hampir mustahil keanya.

Yang bisa gue lakukan sekarang sebagai laki-laki adalah, tentu saja menerima kenyataan dan berusaha mendapatkan kapabilitas yang cukup untuk bisa membeli dan merawat Guci gue kelak..

Written by :
Kumara Ranudihardjo
At UI central library
Going home soon, uh I mean to his boarding room
250913-18:25

No comments:

Post a Comment