Sunday, March 10, 2013

Eksistensialisme - Nietzsche's Human All Too Human




    Dalam berbagai pemikirannya mengenai religious life, Nietzsche mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan ajaran-ajaran agama, bagaimana para pengikut agama sebenarnya hanya dibodohi, serta keanehan-keanehan yang ada pada ajaran agama. Inti dari pemikirannya ialah bahwa
agama hanyalah sesuatu yang menciptakan suatu imajinasi yang mana imajinasi tersebut menghalangi manusia dari berbuat sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Agama menurutnya merupakan suatu kesesatan berpikir, bagaimana manusia berpikir irrasional untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh mereka, seperti ketika rasa displeasure terkadang dengan seketika hilang begitu saja dan seseorang menjadi bersemangat kembali.[1] Kesesatan berpikir seperti itulah yang Nietzsche katakan sebagai alasan mengapa agama harus dihindari. Bagi dirinya, agama yang mendoktrin pengikutnya untuk mencela penjelasan rasional tentang agama, merupakan suatu kekangan yang nantinya dapat mereduksi eksistensi manusia sendiri. Bagaimana tidak ? Padahal di depan mata tersedia berbagai macam pertanyaan-pertanyaan yang susah untuk dijawab oleh agama,yang apabila kita coba untuk jelaskan secara rasional, agama mengutuk penjelasan tersebut, menganggapnya sebagai kenistaan (136).
Bagi saya sendiri, pemikiran yang dikemukakan Nietzsche memiliki argumen yang cukup logis dan bisa diterima oleh akal. Namun penjelasan Nietzsche sendiri terkadang dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru berdasarkan dari implikasi pernyataannya. Ada poin-poin seperti Blind Disciple yang menyebutkan bahwa manusia, ketika tidak dapat menemukan kelemahan dari suatu ajaran, suatu karya, ataupun suatu agama, ia cenderung untuk dengan taat mengikutinya. Dengan tidak langsung, ia telah berlutut dan berserah diri, menyerah akan kehebatan masternya. Bisa kita simpulkan juga bahwa, dengan mudahnya manusia menjatuhkan harga diri mereka, dengan pasrah mengikuti aliran tersebut tanpa adanya usaha untuk mengalahkan aliran tersebut. Kebodohan yang mereka tunjukkan, sebenarnya justru melanggengkan ajaran-ajaran dari agama.
Saya sendiri juga setuju bahwa, seseorang tidak akan berharga tanpa orang lain, seperti yang  Nietzsche katakan, bahwa tanpa pengikut dari suatu ajaran yang buta akan kelemahan ajaran tersebut, maka seseorang tidak akan dapat merayakan pengetahuannya, tidak akan mendapat pengaruh yang besar, serta karyanya akan menjadi tidak berarti. Namun disini saya menangkap juga bahwa, jika kita asumsikan Nietzsche ingin mengajarkan pada kita bahwa agama itu menipu, agama itu sesuatu yang harus kita lenyapkan, maka ajaran Nietzsche sendiri tidak akan ada artinya jika tidak ada orang yang dibodohinya, tidak ada orang yang dengan pasrah menerima ajarannya tersebut. Jadi sebenarnya kritiknya yang satu ini terhadap agama, juga berlaku untuk ajarannya kepada manusia untuk menjadi manusia super.
Dalam poinnya yang lain (133), Nietzsche juga membuat saya setuju bahwa manusia bisa seperti sekarang ini,bukan dikarenakan adanya dosa dan rasa bersalah, namun karena kesesatan berpikirnya yang menciptakan sebuah kaca yang terlampau sempurna. Tentu saja kita merasa rendah, apabila kita bercermin dengan menggunakan kaca yang berisi segala sesuatu yang lebih baik daripada kita. Dan sebenarnya, kaca yang menyesatkan ini adalah buatan kita sendiri, dan dalam rangka kita bisa menjulangkan diri kita setinggi-tingginya, berkarya sehebat mungkin, maka kita harus menghancurkan kaca yang menjadi penghalang tersebut. Hal ini sebenarnya sesuai dengan solusi-solusi yang ditawarkan oleh Psikologi, dan oleh karenanya, argumen ini dapat diterima oleh akal. Sehingga, jika Tuhan yang melarang dan membatasi kita tersebut dihilangkan, menurut Nietzsche maka manusia dapat menghilangkan pula rasa bersalahnya, tidak ada lagi yang namanya dosa, sehingga manusia mampu dengan semaksimal mungkin berkarya dan menjadi unggul.
Pemikiran Nietzsche sebenarnya bagi saya memang ada benarnya. Seperti bahwa tidak ada yang benar-benar melakukan sesuatu dengan tendensi semata-mata untuk orang lain. How can ego act without ego ?[2] Segala kegiatan kita, sebenarnya bertujuan untuk diri kita sendiri, meskipun dengan modus yang bermacam-macam. Memang benar bagi saya pernyataan tersebut, dan menurut saya, hal ini dapat juga diterapkan pada tindakan Nietzsche yang mengajarkan kita mengenai hal ini. Tentunya sesuai dengan ajarannya, ajaran Nietzsche juga bertujuan untuk dirinya sendiri bukan ? Oleh karena itu, dapat saya simpulkan juga bahwa sebenarnya, tidak ada suatu perilaku pun yang betul-betul untuk orang lain, atau dapat juga kita katakan, tidak ada yang yang namanya Ikhlas.


[1] Handout kelas Eksistensialisme;Nietzsche, Friederich. Human, All-Too-Human (poin 134, halaman 87)
[2] Handout kelas Eksistensialisme;Nietzsche, Friederich. Human, All-Too-Human (poin 133, halaman 85)

2 comments: