Saturday, March 9, 2013

Overload Sarjana di Indonesia


Baru saja kemarin lusa saya mendapatkan kuliah dari Dosen saya bung Sandi dalam kelas Sejarah Filsafat Kontemporer. Dalam intermezzonya, dosen saya ini seringkali memberikan informasi-informasi yang konkrit sesuai dengan pembahasan yang sedang berlangsung di kelas. Nah, salah satunya adalah tentang Overload Sarjana di Indonesia, yang dikaitkan dengan pandangan Positivisme.

Seperti yang kita ketahui, di Indonesia ini sudah sangat banyak sekali orang dengan gelar sarjana. Baik itu didapatkan dari belajar sungguh-sungguh, berkat transaksi jalur belakang, maupun jalur yang lainnya. Terdapat lebih dari 493.000 sarjana yang menganggur di Indonesia. Angka tersebut hanya dari sarjana jurusan ekonomi, belum jurusan yang lain. Fenomena sarjana yang berlebih ini tentunya tidak sesuai dengan cita-cita awal masyarakat yang menginginkan pekerjaan yang mudah seusai lulus sebagai sarjana. Lebih lanjut, dosen saya mengatakan bahwa sebenarnya dengan menjadi sarjana, kita masih belum mendapatkan keahlian apapun untuk dapat bersaing di dunia kerja. Tataran sarjana adalah untuk akademisi saja, kecuali apabila kita mengambil jurusan vokasional ataupun program profesi.

Paradigma masyarakat sekarang ini sangat bernuansa positivis. Menganggap bahwa suatu permasalahan hanya bisa diselesaikan oleh satu bidang tertentu saja. Dan tak terkecuali bidang ekonomi ini. Masyarakat cenderung menganggap bahwa yang dibutuhkan di dunia kerja adalah lulusan ekonomi, hukum , kedokteran, dan berbagai rumpun jurusan lain yang selama ini dipandang sebagai jurusan yang mudah mendapatkan kerja seusai lulus. Orang mengabaikan jurusan-jurusan yang prospek masa depannya masih tidak terlalu jelas dan memiliki potensi ekonomi yang kecil. Maka dari itulah berbondong-bondong masyarakat beralih ke jurusan-jurusan potensial tersebut.

Berkat stigma masyarakat sedemikian rupa, pihak penyelenggara pendidikan tinggi tentunya dalam membaca demand dari masyarakat bersikap kooperatif. Dibukalah jurusan-jurusan yang sesuai dengan kemauan masyarakat. Baik di universitas negri maupun swasta, kini sudah hampir pasti kita temui jurusan ekonomi, hukum, psikologi, teknik, kedokteran dan berbagai jurusan favorit lainnya. Merebaknya pembukaan jurusan favorit ini di berbagai universitas tentu mengakibatkan juga overload sarjana dari jurusan tersebut.

Padahal apabila kita lihat kenyataan di dunia kerja, kebutuhan dunia kerja akan SDM bergelar ekonomi sejak tahun 2007 telah dinyatakan overload. Mungkin hal serupa akan terjadi pada jurusan-jurusan favorit lainnya dalam waktu dekat. Overload yang terjadi ini tentunya semakin membuat angka sarjana yang menganggur semakin tinggi. Biaya dan effort yang dikeluarkan ketika menempuh pendidikan tinggi tentunya tidak berbanding lurus dengan apa yang didapatkan ketika lulus menjadi sarjana.

Paradigma seperti inilah yang harusnya diubah dan ditanamkan pada masyarakat. Bahwa kebutuhan dunia kerja tidak hanya berasal dari jurusan-jurusan favorit itu. Masyarakat haruslah pintar dalam membaca peluang agar dapat survive ketika lulus menjadi sarjana. Jurusan non favorit menjadi pilihan alternatif yang sangat baik di era sekarang ini, lantaran keahlian SDM dari jurusan non favorit ini masih terbilang langka.

Perlu diingat pula bahwa untuk menangani suatu kasus, tidak hanya membutuhkan sudut pandang dari satu disiplin saja. Suatu fenomena tidak dapat diselesaikan oleh hanya lulusan ekonomi, namun juga harus bekerjasama dengan bidang yang lain, dalam rangka mencapai solusi yang lebih baik.

Bahkan, masyarakat kini perlu ditanamkan jiwa wirausaha yang baik, dalam rangka mengalihkan stigma berlebih pada jurusan favorit ini. Untuk dapat menjadi sukses tidak harus menjadi seorang sarjana. Jiwa entrepreneur yang digerakkan secara massal dapat mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia, serta mengurangi overload sarjana ini.

Written by :
Kumara Ranudihardjo
At UI central library
Originally written for kompasiana.com
09032013-13:39

No comments:

Post a Comment