Thursday, January 17, 2013

The Problem of 'Merakyat'

Gambar berikut merupakan gambar yang gue ambil dari google Images. Sumbernya dari merdeka.com kalo ga salah. Yah, gambar ini memang mau menunjukkan overall apa yang kita bahas kali ini. Yak, problem 'merakyat'. Dilatarbelakangi oleh euforia pemilukada Tulungagung, serta Pilpres 2014 nanti, serta percakapan WhatsApp dari Ading. Hahaha, intinya thanks to Ading deh karena kata-katanya menginspirasi gue buat nulis artikel tentang 'merakyat'.

Nah ceritanya nih gini, gue ngajakin anak-anak Duta Wisata untuk jalan ngemall bareng nih. Berhubung di Tulungagung nggak ada mall, gue ngajakinnya ke Kediri donk ya sebagai destinasi ngemall terbaik dan terdekat.. ( makanya bikinin Mall donk bapak-bapak yang nanti mau jadi bupati.. please.. -_- ). Nah umpan balik dari temen-temen beragam nih, ada yang bales, tapi banyak yang diem aja -_-. Nah, salah satu dari yang bales itu namanya Ading, dia ngusulin untuk ke PW mall. PW mall adalah julukan anak-anak di kota kami yang merujuk pada "Pasar Wage Mall".

Yak, that's a traditional market. NOT A MALL.
Cuman karena memang dari jaman 45 sampe sekarang di Tulungagung nggak ada 'Mall modern' seperti di kota-kota besar, yah jadi begitulah akibatnya ya..

Oke, nggak bisa kita pungkiri, pasar tradisional semacam itu pastilah suasananya tetaplah 'pasar'. Kita nggak bisa mengelak donk, kalau pasar itu ya kea gitu.. Yah, tau kan ? Mau diomongin ntar dikirain mencela pasar, tapi kalau nggak diomongin ntar kalian bingung. Oke, pasar memang identik dengan masyarakat menengah ke bawah, yang jualan sayur-sayuran, makanan tradisional, baju-baju sehari-hari, dan apalah itu. Bayangan kita umumnya kalau mendengar 'pasar' adalah higienitas yang kurang, yah meskipun ada juga pasar yang bersih, ada juga pasar yang di kelola secara baik dan tertata rapi, tapi sekali lagi, yang namanya pasar tuh ya kea gitu.. Ngerti kan.. -_-

Compared to modern mall, yang berhiaskan lampu-lampu terang, tempat yang bersih, food court yang trendy, barang-barang yang modern, jalanan yang bersih dan nyaman, maka traditional market tentunya seakan ter-marginal-kan. Alasannya karena mall memang lebih mahal, yang otomatis pengunjung mall adalah orang-orang yang paling nggak 'ada kebutuhan yang pengen dibeli di mall'. Sementara pengunjung traditional market tentunya orang-orang yang biasa-biasa aja kehidupan ekonominya, meskipun nggak menutup kemungkinan juga orang berduit beli-beli disana. Yah intinya, begitu lah ya.. -_-

Jadi, yang pengen dibahas tuh begini. Ading said, 'biar lebih merakyat', jadi dia menyarankan pada kita untuk ke PW mall saja, daripada ke Mall di Kediri.

Dari sana, otomatis donk gue jadi mikir.
'Lebih merakyat' ?

Maksud dari merakyat sendiri apa sih ya ?
Kebanyakan dari kita mikirnya, pasti merakyat itu dekat dengan masyarakat dengan kelas menengah kebawah, ditinjau dari segi ekonomi.
Liat aja itu, di koran-koran, ketika musim pemilu seperti ini, para calon pemimpin kampanye dengan menonjolkan diri mereka yang peduli akan rakyat kecil, yang lantas media massa mengatakan bahwa si calon ini 'merakyat'. Dengan dalih berani masuk ke kampung-kampung lah, masuk genangan banjir lah, 'blusukan' di pasar lah, dan segala macem.

Tunggu sebentar kalau gitu, jadi merakyat itu apa ?

Apakah merakyat itu artinya bahwa kita harus 'melakukan/berbaur/dekat dengan rakyat yang memiliki kelas ekonomi menengah kebawah' ?
Padahal kalau pemikiran gue nih ya, kata "rakyat" itu harusnya mencakup seluruhnya. Universal donk.
Pemilik duit banyak dan pemilik duit sedikit, sama-sama disebut rakyat donk.
Pejabat maupun bukan pejabat, mereka harusnya juga namanya rakyat donk.
Kalau rakyat itu universal, berarti merakyat itu seharusnya tidak perlu digembar gemborkan donk, kan setiap hari kita merakyat.
Jadi, presiden bercengkrama ataupun rapat dengan pejabat-pejabat negara itu juga namanya merakyat juga donk. Selain sebagai pejabat, mereka kan juga rakyat.
Jadi, pebisnis berduit tebel yang bercengkrama dengan seorang penyanyi papan atas, itu juga merakyat donk, meskipun penghasilan mereka di atas rata-rata.

Orang-orang cenderung mengartikan 'merakyat' sebagai perilaku yang pro 'rakyat kecil', rakyat yang memiliki kondisi ekonomi yang kurang.
Kalaupun kata merakyat maunya diartikan sebagai demikian, harusnya donk jangan kata 'merakyat' yang dipakai. Yah apa kek, entah 'merakyat kecil' atau apa. Karena kalau hanya merakyat, ya tentunya semua orang kena cakupannya.. -_-

Jadi, gue ngerasanya kurang tepat deh kalau menggunakan kata merakyat. Kalau digunakan kata seperti itu ketika kita akan masuk ke PW mall, maka dengan sendirinya kita secara tidak langsung mengatakan bahwa PW mall atau pasar tradisional itu 'menengah ke bawah'.
Memangnya bener seperti itu ? Nggak kan ? Maka dari itu, jangan menurunkan derajat traditional market. Baik traditional market maupun modern mall, memiliki daya tarik tersendiri.
We need both.

Written by :
Kumara Ranudihardjo
At his home
Longing for mall
17012013-20:37

No comments:

Post a Comment